🍓🍓🍓🍓

185 8 0
                                    

Dipimpin oleh Quin di depan membawa jalan, mobil harrier hitam berisi sahabat Darren mengikut dari belakang sampai mereka tiba di pelabuhan kapal yang akan berangkat 75 menit kemudian.

"Quin mau isi kartu dulu, Pa. Quin lupa isi semalam. Ini bayar tiket kapalnya pakai kartu soalnya," kata Quin mematikan mobilnya dan bersiap keluar.

"Ce, Papa tanya punya teman Papa dulu, apakah mereka ada isi saldo atau tidak. Tunggu sebentar dulu ya." Quin mengangguk patuh menunggu ayahnya.

Sabella dan Mikhaila sudah lebih dulu masuk ke ruang tunggu yang lebih nyaman.

"Quin, tidak perlu isi kartunya. Pakai kartu ini saja. Uncle Al memaksa Papa untuk memakai kartu miliknya. Nanti kalau tidak diturutin, dia bisa semakin kesal lagi," kata Darren memberi Quin kartu pembayaran elektronik milik Aldrian. Kartu uang elektronik yang biasa untuk pembayaran toll, bukan kartu tabungan ATM.

"Oh, okay. Quin akan beli tiket untuk 2 mobil."

Quin pergi sendiri ke ruang tunggu lantai atas untuk membeli tiket kapal dan mengisi data seluruh penumpang yang untungnya Quin sudah tahu namanya.

Saat Quin sudah selesai dengan transaksi tiketnya, Quin melihat sosok pria yang sedang berdiri di balkon ruang tunggu menghadap danau.

'Itu teman Daddy. Uncle Aldrian,' batin Quin  melangkah menghampiri Aldrian yang menenangkan hati dan pikirannya sendiri.

'Apa tidak masalah Quin jumpai?'

Quin ragu. Dia takut saat menghampiri nanti Aldrian jadi marah dan bertambah kesal. Tapi entahlah, katakan dia sedikit gila. Dia memang ingin menghampiri Aldrian.

"Uncle~" sapa Quin pelan namun mampu mengalihkan Aldrian dari lamunannya.

"Are you okay?" tanya Quin menatap Aldrian dengan matanya yang cantik nan polos itu.

Aldrian masih diam memperhatikan wajah Quin. For your information, tatap mata Aldrian bukan tatapan kesal, marah atau keganggu. Aldrian terpana melihat wajah putri sahabatnya itu.

Aldrian, si pria es terpesona pada Quin. Jantungnya bahkan berdebar kencang untuk pertama kalinya. Perasaan yang ingin Ia rasakan sejak dulu. Perasaan berdebar, bahagia, senang, kasmaran juga. Ini yang ingin Ia rasakan, di usia yang sematang ini, pada seorang gadis muda, putri sahabatnya sendiri.

Quin yang dilihati seperti itu tentu merasa tidak nyaman. Bukan tidak suka. Lebih tepatnya takut, canggung. Tatapan mata Aldrian menatapnya itu sangat dalam dan intens.

Quin berdehem pelan. "Ekhem! Emm... Uncle, i-ini tiket kapalnya sudah Quin pesan. Lalu ini kartunya Uncle. Terima kasih sudah bayarin tiket kapal mobilnya Quin," kata Quin mencoba untuk tersenyum menyerahkan tiket dan kartu milik Aldrian.

Hening. Tidak ada suara.

"Emm... Uncle, Quin permisi dulu," pamit Quin hendak pergi dari sana, keluar dari situasi canggung itu, namun tangannya ditahan oleh Aldrian sampai Quin tertarik dan menabrak tubuh tegap Aldrian yang menjulang mencapai 185 cm.

Quin yang kaget mendongak melihat sang pelaku yang juga masih melihatnya. "Uncle!"

"Temani aku di sini." Singkat. Hanya itu. Pernyataan tegas yang tidak mau menerima jawaban, persetujuan atau penolakan Quin.

Quin pun diam saja. Dia diminta untuk menemani, dia menurut saja. Dengan tubuhnya yang hanya 160 cm, Quin mencuri-curi pandang melihat wajah Aldrian yang bergantian menatap danau dan dirinya.

"Uncle masih marah ya?" tanya Quin mencoba membuka pembicaraan.

Aldrian membalas tatapan Quin. "Siapa yang bilang Uncle marah?"

(not) A Sugar B. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang