Liburan reuni selesai dan berjalan dengan baik, saatnya semua kembali seperti semula.
Seperti yang sudah dibicarakan, hari ini, Aldrian membawa Quin turut pulang bersamanya ke Jakarta menaiki pesawat pribadinya Aldrian, Joux Airbus.
Darren, Sabella dan Mikhayla turut mengantar Quin dan Aldrian ke bandara. Keluarga Quin yang lain tidak ikut karena rencana Quin ini mendadak, namun doa selalu tersampaikan untuknya.
Jam setengah 2 usai makan siang di salah satu restoran, mereka langsung ke bandara dimana pesawat Al dijadwalkan terbang jam 14.30.
Tidak repot. Karena naiknya pesawat pribadi, tidak perlu ada tiket, tidak perlu antri cek tubuh dan barang dengan orang lain karena ada jalur khusus, dan tidak perlu gabung dengan orang banyak di ruang tunggu bandara.
"Yang baik di sana, jangan buat Uncle Al-nya repot dan susah ya, sayang." Sabella menasihati Quin yang mengangguk paham.
"Jangan lupa hubungi Mama dan Papa. Kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu Uncle Al karena Mama dan Papa jauh dari Quin."
"Kalau Quin kurang uangnya, bilang sama Papa, sayang. Nanti Papa kirim lagi," lanjut Darren.
Aldrian berdecak kesal. "Ck! Apa maksudmu, Darren! Tidak akan kuijinkan Quin minta uang samamu, yang benar itu samaku. Dan 1agi, tidak akan kubiarkan Quin kekurangan 1 apapun."
Orang tua Quin terkekeh mendengarnya. Mereka tahu dan yakin dengan hal itu, namun tetap saja sebagai orang tua, inisiatif lebih dulu.
"Senyaman apapun nanti pesawatnya, jangan lupa untuk menggenggam tangan Quin saat take-off, Al. Sudah sering naik pesawat, dia tetap tidak tenang," ingat Darren yang sudah dipahami oleh Aldrian sebelumnya. Darren mengingatkan untuk kenyamanan putrinya.
"Aku akan mengingatnya dan menjaganya, calon papa mertua," jawab Aldrian mengedipkan matanya menggoda Darren.
Pelukan perpisahan menjadi penutup sebelum Al dan Quin berjalan masuk ke jalur khusus langsung menuju pesawat.
"Siap, sayang?" Aldrian menatap Quin lembut dengan senyumnya. Quin balas tersenyum dan mengangguk.
"Tidak sedih kan?" Quin diam sebentar kemudian mengangguk mempertahankan senyumnya.
"Look at me, sweetheart." Aldrian membawa Quin menghadapnya, ditangkupnya wajah Quin dengan tangan besarnya yang selalu mampu menghangatkan Quin.
"Ada Daddy, sayang. Jangan takut dan sedih. Quin tidak akan sendiri. Dan juga, kita bisa setiap harinya hubungin Papa dan Mama. Iya kan?" Quin mengangguk menyetujui.
"Nanti Daddy bawa kamu jalan-jalan, terus nanti beliin banyak oleh-oleh untuk Papa, Mama dan Mikha juga. Okay?" Quin kembali mengangguk namun lebih semangat.
"Yes, Daddy!"
"Now, smile. Give Daddy your beautiful smile." Quin tersenyum sangat manis membuat Al gemas dan menggesekkan hidung mereka.
"Ayo. Pesawat sudah menunggumu, sayang."
***
"Selamat datang, Tuan, Nona." Para pramugari beserta pilot dan co-pilot berbaris menyambut Al dan Quin sebagaimana biasa Al naik pesawatnya ini.
Setelah sambutan kecil dari awak pesawat yang mengharapkan penerbangan menyenangkan, mereka berdua duduk di kursi sofa yang biasa ditemui di mansion orang kaya.
Quin terperangah melihat interior dari pesawat pribadi kekasihnya ini. Indah dan mewah bak istana yang bisa terbang. Luas, lebar, bersih, luar biasa nyaman.
"Sini, sayang." Sudah mau take off, dan Al sudah menggenggam tangan Quin, sebagai bonusnya dipeluknya juga Quin.
"Peluk Daddy, tutup matanya, jangan takutin dan khawatirin apapun," bisik Aldrian yang diangguki Quin.
KAMU SEDANG MEMBACA
(not) A Sugar B.
RomanceCOMPLETED SHORT STORY. (Not) A Sugar B. Menjalin kasih dengan seorang roia yang notabene adalah sahabat ayahnya. Jatuh cinta dalam pandangan pertama saat bertemu dalam tangka acara reuni sekolah sang ayah. Mempertemukan jodoh yang telah digariskan...