🍑

131 9 0
                                        

Pagi Al hari ini jauh berbeda dengan biasanya. Baru membuka mata, dirinya langsung disambut oleh wajah indah wanita pertama di hatinya di sepanjang hidupnya ini.

Aldrian tersenyum mengeratkan pelukannya menyamankan Quin dalam tidurnya. Melihat jam, meski sudah di angka 8 dan dikategorikan terlambat bangun untuk Al, tapi dia masih enggan beranjak.

Harusnya hari ini dia sudah mulai bekerja, tapi dia tidak berani bergerak meninggalkan Quin yang Ia yakini akan merasa takut karena asing berada di kamar dan rumahnya kalau tidak ada dia.

Mau dibangunin tapi tidak tega, tidak dibangunin tapi mereka harus sarapan.

"Quin, sayang." Al memutuskan untuk membangunin Quin. Membanguni Quin itu tidak susah. Cuman kalau tidak dibanguni, bisa kebablasan tidurnya.

Quin melenguh merenggangkan badannya. Quin melihat sekitar dan menyadari ada Al di sampingnya. Dia masih diam, memandangi Aldrian.

Al juga ikut diam, memberi Quin waktu mengumpulkan nyawanya. Bagaimana Quin tidak nyaman dan tergoda untuk tidur, Al yang memeluknya terus mengusap kepalanya, mengecup keningnya.

"Good morning, Daddy," ucap Quin tersenyum manis membuka paginya Al.

"Good morning, babygirl," balas Al mencium kepala Quin.

"Tidurnya nyenyak, hm?"

Quin mengangguk. "Nyenyak, Daddy. Daddy?"

"Luar biasa nyenyak, sayang."

***

Aldrian dan Quin baru turun untuk sarapan setelah selesai membersihkan diri. Rencananya, hari ini Al akan mengajak Quin menemui ibunya, lalu setelahnya dia akan mengerjakan pekerjaannya sebentar, menitipkan Quin pada ibunya.

"Kita mau kemana, Daddy?" tanya Quin meminum susu yang sudah tersedia.

"Kamu mau kemana? Ada yang ingin kamu kunjungi?" tanya Al balik.

Quin menggeleng. "Quin ikut Daddy saja. Quin juga tidak tahu mau kemana."

"Ke rumah mama-nya Daddy mau, sayang?" Al sebenarnya takut Quin menolak untuk menemui ibunya karena hubungan mereka yang terbilang sangat singkat dan cepat.

Quin mengangguk tenang. "Boleh, Daddy."

"Daddy kenalin jadi kekasihnya Daddy, jadi calon istrinya Daddy."

Quin tertawa dan mengangguk lagi. "Boleh saja. Asal Daddy siap ngenalin Quin yang masih kekanakan ini. Kalau Quin sendiri ya pasti siap."

"Kalau kamu siap, Daddy 2 kali lebih siap, sayangku." Al mengecup pucuk kepala Quin.

***

"Daddy, kenapa mama-nya Daddy tidak tinggal sama Daddy?" tanya Quin saat mereka di mobil.

"Nanti tanya sama orangnya langsung dong, sayang."

Quin mengangguk paham. "Okay~"

"Lalu, Quin panggil apa nanti, Daddy? Aunty or grandma?" tanya Quin lagi.

Al tampak berpikir. "Kamu maunya panggil apa dong?"

Quin menggeleng tanpa clue. "Tidak tahu, Dad. Kalau panggil grandma, ya panggil grandma. Kalau panggil aunty juga boleh."

"Nyamannya kamu saja, sayang. Nyamannya kamu panggil apa, ya itu saja," kata Al tidak mau membebani Quin juga.

Quin mengangguk paham. "Grandma, boleh, Dad?" Quin minta izin.

Al mengangguk tenang. "Boleh, sayang. Senyaman kamu saja."

Perjalanan dari mansion Al ke mansion ibunya itu membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Mewah. Tapi memang tidak semewah milik Al. Di rumah itu, tidak hanya ditinggali oleh ibu Al dan tentu para pekerja juga pelayan. Tapi juga ada ke-2 adiknya. Yang 1 sudah menikah dan yang paling bungsu belum.

(not) A Sugar B. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang