🧁

172 8 0
                                        

Masih di bukit Holbung, mereka makan siang di pondok yang terletak di lembah bukit itu. Banyak yang berjualan dengan pondoknya, mampu menampung rombongan reuni ini yang berjumlah sekitar 30 orang.

Memesan minum dari para pemilik pondok, sedangkan panitia utama pengurus reuni sudah menyiapkan nasi kotak.

Para rombongan kesombongan sudah pada turun meninggalkan Quin dan Mikhaila yang masih di atas bukit. Gantian. Quin yang akan mengambil foto adiknya setelah Mikhaila bertugas memfotoi orang.

"Dek, ayo! Aku lapar," interupsi Quin pada adiknya yang masih asyik memfotoi pemandangan usai foto dirinya sendiri.

"Hahahaha... Ayo-ayo."

Baru mereka turun yang ternyata masih membagi nasi kotak per orang. Mereka menuju pondok paling ujung dimana ada Darren dan Sabella dan ada beberapa teman lainnya.

"Papa, Quin pengen minum cola. Boleh ya?" pinta Quin yang diangguki Darren.

"Papa, Mikha minum sprite ya?" pinta Mikhaila yang juga diangguki Darren.

Darren memang selalu melarang dan mengontrol anak gadisnya kalau minum minuman berasa. Karena ini lagi liburan, makanya Darren mengizinkan anaknya minum.

"Siap ini kita kemana?" tanya Mikhaila masih ingin jalan-jalan.

Darren menggeleng. "Tidak tahu, Mei. Kita ikut saja. Papa juga tidak tahu."

"Papa, mau jajan juga," pinta Quin yang lagi-lagi diangguki Darren.

Quin dan Mikhaila mengambil jajanan yang mereka suka. Jajanan warung yang sangat mereka sukai. Suka jajan yang murah, bukan yang mahal.

Waktu makan siang hanya 30 menit, karena mereka masih akan mengunjungi tempat wisata lainnya seperti yang baru diumumkan panitia.

Melihat mobil-mobil lain sudah lebih dulu jalan, Quin yang paling santai.

"Duluan deh. Kami terakhir," gumam Quin tenang.

Benar memang mobil Quin yang terakhir, sampai dia tidak bisa lagi melihat mobil-mobil rombongannya di depan sana. Namun baru berjalan beberapa km saja, ke-8 mobil itu tetiba berhenti karena tidak tahu jalan.

Quin yang melihat rombongan mobil itu berhenti, memilih untuk memotong ke-8 mobilnya dan tidak lupa menghidupkan klakson sebagai tanda untuk mengikutinya.

Quin melihat spion dan mobil-mobil hitam tadi langsung mengikutinya. Cuman mobil Quin saja yang warna putih.

"Diikuti ya, teman-teman," kata Quin membuat ayah dan ibunya tertawa.

"Kita yang pertama jadinya."

"Quin suka jadi yang pertama. Akan Quin bawa kalian ke jalan yang benar dan tepat. Ikut ya, sayang-sayangku," ucap Quin dengan tenang dan mencemooh dari belakang. Pada tidak tahu jalan, tapi pada sok mau duluan jalan.

4 km, jarak yang ditempuh untuk mencapai destinasi wisata air terjun Efrata. Jalan yang kurang bagus, membuat mereka sedikit lambat untuk tiba di tempat.

"Sampai!" Darren bersuara melihat mobil teman-temannya, memastikan semuanya tiba.

Untungnya tidak ramai. Ada mobil orang luar, di dalam untuk melihat air terjun juga ada orang luar, namun untuk turun ke bawah, melihat air terjun secara langsung dan dekat, berfoto dengan air terjun, merasakan segar airnya, tidak ada orang. Hanya rombongan baju pink dengan Quin dan Mikhaila saja.

Jadi mereka bisa mengambil foto dan video sepuasnya tanpa harus bergantian dengan orang luar.

Di sini, yang mengambil foto itu gantian Quin. Mikhaila sibuk dengan kameranya menjepret air terjun dan pemandangan sekitar. Jadi Quin yang mengambilkan foto dengan kamera handphone.

Sayangnya Quin memakai sepatu, jadi dia tidak bisa mengambil foto dari tengah, namun tidak menjadi masalah. Quin dengan pandainya memijak beberapa batu yang menonjol ke permukaan, menjadikan itu pijakan baginya untuk mengambil foto.

Menjaga keseimbangan, berdiri di atas batu kecil, di atas air, dan harus mengambilkan foto. Dalam hati Ia berdoa agar tidak jatuh. Selain karena malu, airnya dingin!

Aldrian terus mengembangkan senyumnya. Di balik kacamata hitamnya, dia bukan melihat kamera, namun lebih ke yang memegang kameranya. Queenaia.

Dipandanginya seluruh ekspresi dan pergerakan Quin, bagaimana Quin menjaga keseimbangan tubuhnya, bagaimana Quin mengatur gaya mereka, mengatur pengambilan video mereka, melihat ekspresi Quin yang tertawa, kadang menggigil kedinginan.

Cukup lama mereka di sini dan lanjut lagi menuju objek wisata terakhir, Batu Hoda.

Menghindari yang lalu-lalu, Quin akan memimpin jalan karena sudah pada lupa jalan keluarnya. Jalan yang juga searah menuju jalan pulang ke hotel.

Jam 4 sore, mereka jalan kembali ke hotel karena mereka akan ada acara kumpul makan malam bersama di jam 7 malam. Perjalanan pulang cukup santai karena tidak butuh waktu yang lama.

Jam 5 lewat sudah tiba di hotel, semua beristirahat sebentar kemudian berbenah memakai dress code yang ditentuim ketua.

Yang pria memakai batik dan celana bebas, sedangkan yang wanita memakai atasan putih dan rok lilit batik warna biru.

"Quin tidak mau ikut, Pa. Quin mau makan di luar saja. Gak mau gabung," kata Quin pada ayahnya.

"Kamu sendirian, Ce. Sudah malam. Mikha saja ikut sama Mama," larang Darren. Mikhaila ikut dengan Darren dan Sabella menghadiri acara kumpul malam ini, menemani Sabella. Quin malas. Ia ingin makan di luar.

"Quin makannya dekat saja, Pa. Mau makan pizza. Pengen. Please..." bujuk Quin.

"Ya? Janji sampai jam 9. Jam 9 Quin sudah ada di hotel nanti. Quin jumpai Papa dan Mama jam 9 nanti. Atau mungkin lebih cepat."

Tidak menyerah Quin membujuk ayahnya sampai Darren mengangguk membuat Quin memekik kesenangan. Dengan semangat dia berbenah dan bersiap untuk pergi.

Tinggal Quin sendiri di kamar hotel, Quin tiba-tiba terdiam mengingat sesuatu.

"Uang!" seru Quin baru ingat dia tidak membawa uang dan dompet. Papanya juga lupa memberinya uang.

Quin pergi menuju ruang aula tempat perkumpulan reuni mereka. Quin tersenyum baru melihat dress code para orang tua yang manis. Berharap suatu saat nanti bisa menghadiri reuni yang kompak seperti orang tuanya ini.

"Pa, Ma," panggil Quin dan disambut orang tuanya.

"Quin mau pergi. Uangnya gak ada, Pa," adu Quin sedih.

"Papa lupa, Quin." Darren mengeluarkan setumpuk uang pada Quin, takut putrinya kekurangan uang.

"Thank you, Pa!"

"Ehy! Ce, itu sepertinya kamu tidak pergi sendiri. Uncle Al ingin ikut denganmu pergi makan," kata Darren membuat Quin kaget.

"Siapa, Pa?" tanya Quin takut salah dengar.

Darren menunjuk Aldrian yang sudah berjalan ke arah mereka. "Uncle Al."

"Uncle Al ingin makan di luar. Kepengen mencoba makanan di sini, makan di luar. Papa bilang kalau kamu mau pergi makan di luar sendiri, mau makan pizza dan teman-temannya. Jadi Uncle Al juga pengen makan, pergi sama Uncle Al, okay?"

Quin kaget. "Uncle mau ikut Quin pergi makan? Uncle yakin?"

Pertanyaan Quin membuat Aldrian mengerut bingung. "Yakin. Kenapa? Kamu keberatan?"

Quin sontak menggeleng cepat. "Tidak, Uncle! Maksud Quin, kan lagi acara ngumpul, masa Uncle bareng Quin makan di luar? Nanti di marahin sama Aunty ketua loh." Aldrian dan Darren sama-sama terkekeh mendengarnya.

"It's okay, Quin. Tidak ada yang berani melarang apa yang ingin dilakukan seorang Aldrian." Darren berkata jujur.

"Then, okay. Ayo kita pergi, Uncle. Kalau gini kan Quin jadi tidak sendiri," aku Quin senang. Dia paling malas pergi sendiri apalagi sudah malam, tapi lebih malas lagi kumpul di aula ini.


Uhuyyy! Ada yang mau pergi nih! Berdua-duaan pula🙈

(not) A Sugar B. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang