🍑🍑🍑

156 8 0
                                        

Ucapan rasa syukur terus dipanjatkan Aldrian melihat seluruh keluarganya yang menerima Quin sebagai calon istrinya dengan sangat baik, terutama sang ibu.

Tadinya dia berpikir kalau dia akan bekerja dan berjuang lebih keras lagi agar hubungannya dengan Quin direstui, namun dia merasa Tuhan sangat baik dengannya. Dia bisa mendapatkan restu keluarganya dan juga keluarga Quin dengan sangat baik, tanpa banyak drama, tanpa air mata sakit dan sedih.

Al melihat seluruh kejadian Quin dan keponakan. Dia merasa sedih dan sakit saat keponakan sayangnya membenci gadis yang Ia cintai, mendengar kata-kata Quin yang menenangkan Karen.

Dia bersyukur karena Karen bukan anak yang jahat, anak yang kasar, yang dendam dan buoan anak yang keras hati.

Melihat Karen menangis memeluk Quin, itu melegakan hati Al. Keponakannya bisa menerima Quin dengan baik. Akan Ia resmikan Quin menjadi miliknya dalam waktu dekat ini.

Quin dan Karen jalan bersama dengan tangan saling menggenggam, masuk ke dalam rumah, ke dapur. Al menemui mereka dan ikut senyum melihat senyum keduanya.

Karen kembali memeluk Quin, menatap Al seperti permusuhan, menjaga Quin agar tidak diambil pamannya.

"Uncle, jangan bawa Aunty pulang dulu! Aunty mau bantu Karen buat kue. Nanti baru boleh pulang!" seru Karen tegas.

"Tapi itu kan gadisnya Uncle," kata Al tidak mau kalah. Dia menggoda keponakannya.

Karen berpikir. "Iya benar. Tapi Karen mau sama Aunty. Karen mau bareng Aunty. Jangan bawa Aunty pulang dulu."

"Hahahaha... Tentu, Karen! Kamu bisa puas-puasin masak dan main bareng Aunty Quin. Oke?"

Karen mengangguk dan membawa Quin berlalu ke dapur, tapi matanya terus memicing menatap pamannya, takut pamannya bohong dan membawa lari aunty baru yang Ia sayang.

Ternyata tadi Karen mengatakan kalau dia lapar habis kesal, sedih dan menangis tadi. Mengatakan kalau dia ingin makan kue, meminta bantuan chef pastry untuk membuatkannya kue. Namun Quin mengatakan kalau dia sendiri bisa membuat kue dan Karen dengan semangat mengajak Quin membuat kue bersama.

"Lagi pada ngapain anak-anak gadis ini?" Alodie dan Agatha datang masuk ke area dapur pastry.

"Mommy, Aunty! Karen dan Aunty Quin mau buat kue!" jawab Karen semangat.

"Mau buat kue apa, hm? Kamunya bisa buat kue, sayang? Nanti kalau kamu luka dan juga membuat Aunty Quin juga luka, kamu bisa dimarahin sama Uncle Al loh," peringat sang ibu, Alodie.

"Karen tidak akan luka kok, Mommy. Karen sama Aunty Quin. Aunty pintar masak kue. Chef dan maid lain juga ada di sekitar kok, Mommy. Jadi Karen tidak akan terluka, Aunty Quin juga tidak terluka. Iya kan, Aunty?"

Quin tersenyum dan mengangguk menvunit gemas hidung Karen. "Iya, sayang. Tapi tetap harus hati-hati agar tidak terluka ya."

Quin dan Karen mulai membuat macaron berbagai rasa.

"Ini putih telurnya dipisahin terus dimixer, Aunty?" tanya Karen yang memisahkan kuning telur dari putihnya.

"Iya, sayang. Aunty yang mixer atau-"

"Karen! Karen yang mix!" seru Karen memotong.

Quin terkekeh dan membiarkan Karen mengerjakan dalam pantauannya. Ia membantu Karen mencetak macaron di atas loyang sebelum masuk ke dalam oven.

"Tunggu berapa lama, Aunty?" tanya Karen memandang macaronnya yang sudah masuk oven.

"Paling cepat 30 menit dan paling lama 60 menit. Kita tunggu sampai permukaan macaronnya kering, baru selesai."

"Lama juga, Aunty!" lesu Karen meletakkan wajahnya di meja.

"Nunggu macaronnya selesai, bagaimana kalau kita buat minum?" tawar Quin membuat Karen sontak menegakkan kepalanya.

"Minum apa, Aunty?" tanya Karen antusias.

"Emmm... Kalau kita buat strawberry milkshake saja, bagaimana? Mau?"

Karen mengangguk semangat. "Mau! Mau! Mau!"

Dengan mencampurkan stroberi beku ke dalam milkshake vanila yang di-blend kemudian menambahkan whipped cream di atas, kemudian 2 potong strawberry kecil sebagai garnish, strawberry milkshake mereka jadi.

"Ini hebat!" gumam Karen bangga dia berhasil membuat minuman.

"Tentu! Kan Karen yang buat. Nanti nikmatin bareng-bareng sama macaronnya."

Karen melirik ovennya. "Sudah lama pun, masih belum selesai."

Quin tersenyum bergerak mengecek ovennya dan ternyata sudah ada beberapa yang kering. Dengan senang Karen melapisi macaron kering dengan whipped cream berasa lemon dan berhasil membuat 12 potong macaron.

"Cantik kan, Aunty?"

Quin mengangguk kuat dengan senyum lebar. "Sangat sangat cantik! Kamu hebat, sayang! Karen pernah buat kue juga?"

Karen tersenyum bangga namun juga malu. "Ini pertama kalinya sama Aunty. Karen belum pernah buat kue. Terima kasih sudah temanin Karen buat kue, Aunty!"

Karen memeluk Quin dengan senang. "Lain kali kita bisa buat kue sama-sama lagi kan, Aunty?"

Quin tersenyum mengusap kepala Karen. "Tentu, sayang. Aunty dengan senang hati buat kue bareng Karen lagi."

Menunggu macaron yang lain matang, Quin mencuci perkakas yang mereka pakai. Bukannya tidak dilarang oleh para pelayan di sana, tapi Quin keukeuh ingin mencuci. Dia yang memakai dan dia bertanggung jawab membersihkan.

Pujian membanjiri Quin dari para pelayan dari senior sama junior, para chef yang memuji Quin dalam hati mereka masing-masing. Quin, calon nyonya besar mereka.

Para pelayan sedikit menjauh dari ruang pastry saat Tuan besar mereka datang. Aldrian datang setelah tadi menerima laporan mingguan dari para bawahannya tentang seluruh yang terjadi mansion ibu dan saudarinya tinggali ini.

"Oh jolly!" pekik Quin yang kaget saat mendapat pelukan tangan besar di perut langsingnya. Aldrian memeluknya tanpa suara membuat Quin kaget.

"Daddy mengagetkanku!"

"Maafkan Daddy membuatmu kaget, sayang," sesal Al tapi tidak melepaskan pelukannya, semakin dieratkan.

Quin mengangguk tidak mempersalahkannya meski dia sungguh sangat kaget.

"Kenapa kamu yang cuci, hm? Kamu tidak seharusnya menyuci semua peralatan ini. Ada banyak orang yang akan mengerjakannya."

Quin tersenyum lanjut membilas peralatannya. "Quin bisa, Dad. Kenapa harus tunggu mereka yang kerjakan. Mereka punya banyak kerjaan. Quin sekalian tunggu macaronnya matang."

Quin tersentak kecil dan membalik melihat keponakannya yang tadi Ia temani. "Karen-ku sudah tidur ternyata."

Al tersenyum mendengarnya. "Kalau nanti kita punya anak, sudah besar seperti Karen, kamu akan seperti ini juga dengan putri kita nanti?"

Quin tak bisa untuk tidak senyum. "Tentu saja, Dad. Nanti putri kita pun seperti saat ini Quin dengan Karen. Sama saja. Baik Karen maupun anak kita nanti, dua-duanya anak Quin. Nanti Quin ajak putri kita masak seperti ini juga, kalau Karen mengajak akan dengan senang hati Quin temani."

"Aku tidak sabar menantikan saat itu, sayang. Saat bersamamu dan anak-anak kita," bisik Al penuh harap.

"Yang sabar ya, Daddy. Pelan-pelan. Quin juga tidak sabar menantinya. Yang penting Daddy tetap dengan Quin, hubungan kita baik dan dijalani dengan hati yang tulus dan penuh cinta, pasti nanti Tuhan cepat kasih kita baby," kata Quin lembut mengusap kepala Al yang bersandar padanya dari tadi.

Al mengangguk paham. "I love you, sayang."

(not) A Sugar B. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang