Usai Lizeet berbicara seperti itu, rasa percaya diri dan bangga menyeruak diri Al karena pilihannya tidak salah jatuh pada Quin, gadis yang usianya jauh di bawahnya. Didukung pula, ketiga adiknya yang mulai bisa mengakrabkan diri dengan Quin. Para keponakannya juga demikian.
"Gege, jadinya kami panggil calon kakak ipar kami ini dengan Sao sao atau nama saja?" tanya adik pertama Al, Alodie yang sudah menikah dan punya 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki.
"Panggil nama saja, Cie. Tidak perlu panggil Sao sao." Quin yang menjawab dengan sopan. Sao sao itu artinya kakak ipar perempuan dalam bahas mandarin.
"Mana boleh seperti itu! Kami sangat menghormati Gege, seperti itu juga kami menghormati pasangan Gege nanti. Dan itu kamu." Agatha, adik kedua Al yang sudah menikah dan mempunyai 3 anak laki-laki bersuara.
"Tapi tetap saja Quin jauh lebih kecil dari Ciecie bertiga. Tidak sopan untuk Quin membiarkan kalian menyebut Quin dengan panggilan kakak ipar."
"Gadismu ini baru benar tingkahnya, Ge! Lama nikah nungguin datangnya gadis sempurna seperti ini ternyata," aku Agnetha, adik bungsu Al yang belum menikah.
"Nyamannya kalian saja mau bagaimana. Sebelum menikah, kalian bisa memanggilnya nama. Tapi kalau nanti kami sudah menikah, Gege berharapnya kalian tetap memanggilnya Sao sao, karena bagaimanapun Quin istriku, kakak ipar kalian meski usianya lebih kecil. Tapi begitupun, itu hanya harapanku. Kalau kalian nyamannya manggil nama, it's okay," jelas Al tidak mau memaksa adiknya.
"Gak sopan kalau aku dan orang Ciecie manggilnya nama. Manggil Sao sao saja, bagaimana, Cie?" tanya s bungsu Agnetha pada kedua kakaknya.
Alodie dan Agatha mengangguk serempak. "Tentu! Kami juga tidak masalah. Bagaimanapun tetap kakak ipar kami posisinya."
"Kamu tidak keberatan kan, Sao sao?" tanya Alodie dengan senyum menggoda.
Quin tersenyum malu dan menggeleng. "Thank you, Cie."
Keponakan Al, 5 anak laki-laki juga rupanya sangat menyukai Quin karena Quin sangat pandai membawakan dirinya saat bersama anak-anak.
Quin suka anak-anak. Apalagi dia mempunyai 5 adik sepupu yang usia paling besar itu 8 dan paling kecil 1 tahun. Jadi dia sudah terbiasa untuk bermain dan berada di sekitar anak-anak.
Namun ada 1 orang yang terlihat hanya diam dan memandangi Quin dengan tatapan yang sulit diartikan. Karen, putri tertua Alodie, cucu tertua dan keponakan tertua keluarga ini.
"Dad, itu namanya siapa?" bisik Quin mengarah pada Karen yang sudah berlalu ke taman belakang, duduk di kursi taman sendirian.
"Namanya Karen, sayang. Anak sulungnya Alodie yang umurnya sudah 14 tahun."
"Emm... Quin bukan menuduh atau berprasangka buruk, tapi sepertinya Karena tidak menyukai Quin."
Al mengangguk membenarkan. Dia juga tahu ketidaksukaan keponakan sayangnya itu. "Karen hanya belum terbiasa, sayang. Dia hanya belum siap harus membagi sayangku padanya, denganmu dan anak kita nanti."
Quin paham. Anak remaja itu cemburu akan kehadirannya. Jelas saja. Hanya dia keponakan dan cucu perempuan. Keponakan yang sangat dimanja oleh Al.
"Quin mau bicara dengan Karen, Dad. Mau mencoba menenangkannya sekalian mendekatkan diri pada Karen juga."
Al mengangguk mengizinkan. "Pergilah, sayang. Tapi jangan dibawa hati entah apapun yang dibilang Karen nantinya ya."
Al khawatir Quin sedih dan merasa tersinggung dengan kata-kata Karen yang tak terkontrol nanti.
"Hahaha... Quin tahu, Dad. Quin sudah tidak asing lagi berhubungan dengan anak-anak," jawab Quin mengusap pipi Al menenangkan.
***
"Karen~"
Karen yang tadinya melamun, tersentak kecil melihat Quin yang menghampiri.
"Kenapa di sini sendirian?" tanya Quin membuka pembicaraan.
"Kamu, apa ke sini?" tanya Karen balik dengan ketis dengan panggilan 'kamu'.
"Mau ngejekin Karen karena kamu akan jadi istri Uncle Al?"
Quin tersenyum dan menggeleng. "Tentu saja tidak. Ciecie hanya ingin berteman denganmu. Kata Uncle Al, kamu itu keponakan sayangnya dia yang paling cantik, paling manis, yang menggemaskan dan pintar. Jadi Ciecie penasaran dan ingin mencoba berteman denganmu."
Karen diam dan menunduk.
"Aku tahu kalau Karen tidak menyukai Cicie. Ciecie juga minta maaf sudah buat Karen sedih, merasa tidak disayang, merasa tersingkirkan dengan kehadiran Ciecie, merasa Ciecie merebut sayangnya Uncle Al darimu." Karen menatap Quin yang mengatakan semua yang Ia rasakan.
"Ciecie tahu dan kamu salah, sayang. Ciecie tidak akan merebut Uncle Al darimu karena Uncle Al sungguh sangat menyayangi Karen. Kehadiran Ciecie tidak akan mengubah kasih sayangnya Uncle Al untuk Karen. Karena apa? Karena Cieicie sendiri juga sangat menyayangi Karen. Kamu mungkin belum mengenal Ciecie, tapi Ciecie sudah mengenal Karen, Uncle Al selalu menceritakan Karen pada Ciecie."
Karen mulai menatap Quin sedikit melembut. "Uncle sering cerita Karen pada Ciecie?"
Quin tersenyum dan mengangguk kuat. "Benar, sayang. Uncle Al selalu menceritakan keponakan sayangnya yang sangat cantik, manis dan pintar. Ciecie penasaran, lalu Uncle Al kasih tunjuk foto Karen dan ternyata Uncle Al tidak bohong. Uncle Al bahkan mengatakan kalau dia berharap untuk punya anak yang seperti Karen dan Ciecie tidak keberatan. Ciecie suka Karen."
Karen melunak. "Benarkah seperti itu?"
Quin mengangguk kuat. "Tentu! Tidak ada untungnya Ciecie bohong."
"Karen hanya ingin tetap disayang banyak orang," lirih Karen sedih.
"Semua sayang sama Karen. Termasuk Uncle Al yang tetap menyayangi Karen dan tambah Ciecie juga yang menyayangi Karen, meskipun Karen tidak menyukai dan membenci Ciecie."
Karen mengangguk memilin bajunya tidak berani membuka suara.
"Maafkan Ciecie membuatmu sedih, sayang. Tapi kamu bisa pegang kata-kata Ciecie tadi." Karen mengangguk paham.
"Ciecie masuk dulu, sayang. Kamu juga jangan lama-lama di sini ya," ucap Quin tersenyum dan beranjak pergi.
Namun tak disangka, Quin justru mendengar suara isakan tertahan Karen dan itu membuat Quin kaget segera menundukkan badannya.
"Karen? Kamu kenapa? Kenapa menangis?" Quin tidak bisa untuk tidak turut menangis. Dia merasa, dialah penyebab Karen menangis.
"Maafkan Ciecie, sayang," lirih Quin menggenggam tangan Karen, namun gadis remaja itu segera melepaskannya dan memeluk lehernya erat.
"Maafkan Karen, Aunty. Karen sudah tidak sopan dengan Aunty. Karen hanya takut tidak ada yang sayang Karen lagi. Tapi Karen percaya yang Aunty bilang. Karen juga sayang Aunty. Maafkan Karen, Aunty." Karen menangis menyampaikan yang ingin Ia katakan.
Tadinya menangis sedih, sekarang Quin justru terharu. Karen justru memanggilnya aunty.
"It's okay, sayang. Aunty mengerti perasaan Karen. Aunty juga minta maaf sudah buat Karen sedih."
Karen menggeleng kuat di bahu Quin. "No, Aunty! Aunty tidak salah. Karen yang salah. Karen tidak sopan dan Karen menuduh Aunty jahat. Maafkan Karen."
"Kamu tidak salah, sayang. Aunty juga tidak menyalahkan Karen."
"Tapi Karen mau Aunty maafkan Karen! Karen salah! Maafkan Karen, Aunty," keukeuh Karen memaksa Quin menyatakan dia salah dan butuh dimaafkan.
"Iya, sayang. Iya. Aunty maafin Karen kok," kata Quin mengusap rambut Karen.
"Terima kasih, Aunty," bisik Karen berhenti dari tangisnya.
"Aunty juga terima kasih, sayang."
"Karen sayang Aunty," bisiknya mengeratkan pelukannya.
Quin tersenyum mencium kening Karen. "Aunty lebih lebih menyayangi Karen."
KAMU SEDANG MEMBACA
(not) A Sugar B.
RomanceCOMPLETED SHORT STORY. (Not) A Sugar B. Menjalin kasih dengan seorang roia yang notabene adalah sahabat ayahnya. Jatuh cinta dalam pandangan pertama saat bertemu dalam tangka acara reuni sekolah sang ayah. Mempertemukan jodoh yang telah digariskan...