Malam itu terasa sangat dingin dan menusuk bahkan khususnya bagi Jasmine yang terluka hatinya. Selama berjam-jam dia harus menyaksikan pujaan hatinya bermesraan dengan gadis lain.
Jasmine mengakui bahwa gadis di hadapannya ini sangat cantik, pintar, anggun, feminim, dewasa dan jauh lebih baik dibandingkan dirinya.
Jasmine merutuki kebodohannya. Dia sama sekali terlalu narsis, terlalu yakin dan optimis bahwa Kak Bevan adalah jodohnya.
"Ekhem, Kak. Gue sama Jasmine balik dulu ya. Udah jam 9 malem. Gak enak sama Bibi kalo kelamaan pergi." Pamit Juna pada sang kakak.
"Oh ya Jun, gue sampai lupa waktu kalo udah jam segini. Kalian hati-hati di jalan ya."
Mereka berpamitan dan bergegas keluar cafe. Jasmine masih diam dan Juna hanya mengela nafas sesekali. Kepalanya pusing dan dadanya sesak.
Di tengah jalan raya yang masih ramai, Jakarta memang gak ada sepinya. Juna melirik Jasmine dari spion motornya. Gadis di belakangnya ini sangat kuat, bahkan satu butir air mata saja tak terjatuh. Andaikan gadis lain pasti sudah menangis bahkan pingsan jika mengetahui laki-laki yang dicintainya ternyata sudah memiliki kekasih.
Sesampainya di rumah Bibi, Jasmine langsung masuk kamar. Bibi mungkin masih di masjid karena setiap malam ada pengajian ibu-ibu. Juna tidak ikut masuk ke dalam rumah Bibi karena ia yakin Jasmine akan menangis sampai pagi dan dia butuh waktu sendiri agar tenang dan terkendali.
Juna menghembuskan nafasnya pelan dan tangannya mengepal di atas jok. Juna merasa sangat marah dengan perlakuan kakaknya yang seolah tidak menyadari bahwa Jasmine menyimpan perasaan cinta selama ini.
Juna memutuskan pulang dan saat masuk ke dalam rumah ia menjumpai kakaknya sedang menonton TV di ruang tengah. Juna malas melihat wajah kakaknya, sehingga dia segera ke kamarnya. Juna menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
"Jun, lo lagi ada masalah?" Tanya Bevan yang menunjukkan kepalanya dari balik pintu.
"Gak, gue lagi badmood aja kak."Balas Juna tanpa melihat kakaknya.
"Lo kayak cewek PMS aja. Seriusan nih, lo ada masalah apa? Cerita aja ke gue. Gue itu kakak lo, Jun."
"Kak, please jangan ganggu gue dulu. Gue lagi gak mau ribut sama lo ya kak. Keluar dari kamar gue sekarang."
Di seberang sana, seorang gadis tengah menangis tanpa henti sampai dadanya sesak. Jasmine memang sering membayangkan jika Bevan sudah memilili kekasih. Tapi tidak untuk saat ini, hatinya belum sanggup menerima kenyataan di depan matanya.
Entah sudah berapa jam Jasmine menangis sampai matanya bengkak. Tepat pukul 03.00 Jasmine memutuskan mengompres matanya dengan air es agar paginya matanya tidak membengkak. Jasmine tidak ingin membuat Bibinya khawatir saat melihatnya di pagi hari.
***
Esok pagi harinya, Jasmine berangkat lebih pagi. Dia sudah mengirim pesan ke Juna untuk tidak menjemputnya. Jasmine memilih naik bus dan mengabaikan telepon dari Juna.
"Jasmine. Lo bisa gak sih jangan buat gue khawatir!" Teriak seorang laki-laki yang tak lain adalah Juna saat memasuki bus yang ditumpangi Jasmine. Jasmine terkejut, ia tak menyangka Juna bisa menyusulnya. Beruntung waktu masih pagi dan bus juga masih sepi penumpang.
"Heh, lo mau ngehindari gue. Emang kalo lo ngehindar gini, lo bakalan bisa dapatin Bevan. Emang sakit hati lo bakalan hilang? Hah? Enggak kan? Emang gue salah apa sama lo? Lo jadi benci gue gara-gara kakak gue mau nikah sama cewek lain?" cerocos Juna tanpa henti dan dia tidak peduli jika sopir dan kondekturnya melihatnya.
Tampak keringat mengucur di kening Juna dan seragam sekolah yang acak-acakan. Juna lalu duduk di samping Jasmine dan menyenderkan kepalanya di bahu Jasmine.
Jasmine hanya diam. Dia tak mampu menjawab semua pertanyaan Juna yang justru semakin menyayat hatinya. Butiran bening mengalir dari pelupuk matanya dan Juna menyadari bahwa tubuh disampingnya bergetar menahan air mata meski sekarang sudah tak tertahankan.
"Jasmine, lo masih punya gue. Gue selalu dukung lo. Gue sahabat lo. Gak akan gue biarin orang lain nyakitin hati lo. Gue janji, gue akan tonjok muka Bevan yang udah buat lo kayak gini."
"Juna, hiks. Sakit banget Jun, hikss."
Jasmine akhirnya kalah untuk mempertahankan air matanya yang kini mengalir deras. Dia menggunakan kedua telapak tangannya guna menutupi wajahnyaJuna yang di sampingnya memeluk bahu Jasmine dan menenangkannya dengan cara mengelus punggungnya dan sesekali merapikan rambut Jasmine yang terurai.
"Cup, cup. lo kuat. Lo gadis yang kuat. Gue yakin lo bakal bisa lupain kakak gue, Jasmine."
Kini Junalah yang menguatkan Jasmine karena sedang merasa sakit hati. Yah, jika kemarin cowok itu yang merasa tersakiti karena cintanya bertepuk sebelah tangan, kini giliran sahabatnya yang mengalami hal serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Forever Rain
FanficPerjuangan Jasmine mendapatkan cinta Bevan yang merupakan kakak sahabatnya sendiri yaitu Juna dan selama 5 tahun lamanya dia tak kenal lelah untuk menaklukkan Bevan. Sampai suatu hari Randy, teman masa kecilnya datang dan menyatakan cinta pada Jasmi...