"Kamu serius nggak mau menikah samaku, Lia?" Tanya Yeji, matanya menyipit akibat cahaya matahari yang menyilaukan pandangan kami. Aku dan Yeji duduk beralaskan pasir pantai, menikmati suara deburan ombak dan angin nan sejuk di sore hari.
Aku menoleh ke arahnya, memandangi wajahnya beberapa saat sebelum kembali menatap ke arah laut lepas. Aku menggeleng lemah sambil tersenyum tipis. Kudengar Yeji menghela napas kecewa. Kami kembali hening.
"Aku sudah cukup bahagia dengan keadaan kita sekarang ini, Ji."
Yeji tidak langsung merespon, aku melihat dari sudut mataku Yeji beberapa kali membuka mulutnya hendak bersuara. Akan tetapi ia ragu-ragu.
"You don't have to be worry. I'm not going anywhere." Aku berkata dengan suara pelan. Kuharap Yeji mampu mendengarnya.
"Aku nggak takut kamu pergi, Lia."
Keningku mengerut sedikit, tidak mengerti maksud perkataan Yeji barusan. "Terus?" Aku menuntut jawaban.
"Karena keegoisanku. Aku mau semua orang tahu kamu punyaku." Yeji menjawab sembari menggaruk tengkuknya sambil tersenyum malu. "Tapi setelah dengar jawabanmu, aku nggak masalah dengan keadaan kita yang sekarang." Yeji menambahkan lalu beranjak dari duduknya. Ia kemudian tersenyum. "Asal sama kamu, aku senang."
Aku memandangi punggung Yeji yang mulai menjauh dariku, ia berlari menuju tepi pantai sambil melepaskan sepatunya. Aku yang melihat Yeji bermain dengan air, merasa tergoda hingga kemudian memutuskan untuk menyusulnya. Aku mengerling jahil ke arah Yeji dan menyipratkan air laut ke arahnya. Yeji menatapku kesal sembari berancang-ancang untuk mengejarku. Sore itu berlalu dengan kami bermain di bibir pantai, tertawa riang tak kenal lelah meskipun sekujur tubuh kami sudah basah akibat air laut dan keesokan harinya, kami diserang demam.
Ini tahun ketiga kuhabiskan bersama dengan Yeji. Kami menyewa apartemen di dekat toko sehingga ketika pulang aku tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Setelah menyelesaikan magangnya, Yeji ditawarkan untuk menjadi pemandu museum tetap di pusat kota Seoul. Yeji tentu tidak menolak kesempatan emas itu—meskipun kami harus LDR ketika weekdays. Sementara aku mengambil alih cabang toko bunga yang berjarak 5 jam perjalanan dari kota Seoul. Baik aku dan Yeji, kami sepakat untuk mendukung keputusan satu sama lain jika menyangkut tentang masa depan sehingga kami tidak saling menghalangi pilihan hidup kami.
"You know what, technically I really love doing my job." Ujar Yeji. Ini hari minggu, sehingga kami dapat menikmati sarapan dengan santai di meja makan. "Cuma satu yang aku gak suka." Sambungnya, matanya memandangiku dengan serius.
Aku antusias dengan topik pembicaraan Yeji sehingga aku melupakan sandwich di piringku, mengalihkan pandanganku ke arahnya dan bertanya, "Apa?"
"Kamu gak ada di sana." Yeji menjawab dengan wajah cemberut. Aku reflek memukul lengannya. Kebiasaan. "Serius Lia, aku suka kangen kamu tahu."
Aku menggeleng lemah menahan kesal. "Yeji, kamu tahu gak sih? You're so cringe." Akhirnya aku kembali memberikan perhatian kepada roti isiku. Sedikit kesal, akan tetapi aku tidak dapat menahan diri untuk cekikikan, begitu juga dengan Yeji. Kami melakukan ini hampir setiap hari dan aku tidak pernah merasa bosan sedikit pun. Hatiku selalu menghangat, menikmati moment bersama Yeji.
"Toko gimana, Lia?" Tanya Yeji sambil menumpuk piring setelah itu ia letakkan di cucian piring.
Aku menyalakan keran air dan mulai menyabuni piring-piring kotor tersebut. "Seperti biasa, stabil."
Yeji yang berdiri di samping kulkas mengangguk lemah. "You know what? You can hire one or two."
Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. "Aku tahu. Tapi aku bisa sendiri, Ji."
KAMU SEDANG MEMBACA
I will spend my whole life loving you (Completed)
Fiksi PenggemarYeji pokoknya cuma mau Lia, titik.