CHAPTER 46 : PHOTOS

5.5K 681 96
                                    

JENNIE POV

Pagi ini aku berangkat ke kantor dari rumah orangtuaku. Aku tidak berencana untuk mampir ke unit apartemenku dulu karena aku masih kesal pada Lisa. Dia pergi meninggalkanku begitu saja padahal seharusnya kemarin dia memaksaku untuk ikut ke apartemen atau setidaknya dia bermalam di rumah orangtuaku.

Kalian boleh marah padaku karena tingkat gengsiku sangat tinggi pada Lisa. Tapi itu wajar bukan? Aku hanya ingin sedikit dirayunya. Tapi dia sama sekali tidak melakukan itu. Kekesalanku semakin bertambah padanya.

Jika dia marah karena menemukan aku keluar gate di bandara dengan Taehyung, seharusnya itu tidak perlu. Tidak ada yang salah dengan apapun kemarin, aku memeluknya dan tidak menghiraukan Taehyung. Aku tidak melakukan apapun juga dengan Taehyung di depannya.

Atau jika dia marah karena aku sangat sibuk di Paris, seharusnya itu juga tidak perlu. Aku disana bekerja dan sangat sibuk. Tapi baginya seolah disinilah aku yang salah.

Aku berkerja dan bukan bersenang-senang. Dia hanya memikirkan perasaannya saja tapi tidak mau melihat dari sudut pandangku juga, sehingga menyebabkan masalah secuil seperti ini tumbuh menjadi masalah besar yang mengakar kemana-mana.

Aku datang sangat pagi sehingga aku belum menemukannya di meja tempat kerjanya. Saat aku akan masuk tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengeceknya ternyata pesan dari seseorang yang kutunggu-tunggu sejak semalam. Aku membacanya dan tersenyum. Dia mengatakan hanya memiliki waktu di jam makan siang. Jadi mau tidak mau saat makan siang nanti aku harus keluar meninggalkan kantor. Aku membalasnya terlebih dahulu untuk menyetujui pertemuan kami.

Aku memasukan kembali ponselku kemudian seseorang yang kukenal suaranya memanggilku. "Jennie.." Aku membalikan badanku. Aku melihat Lisa dengan wajah seriusnya menghampiriku.

Huft, apakah dia masih marah padaku karena kejadian kemarin? Jika ya, kekasihku ini berlebihan.

Sebenarnya aku sangat merindukannya dan ingin memeluknya sekarang, namun dengan wajahnya yang dibuat menyeramkan seperti itu aku jadi malas.

Dia berhenti berjalan tepat di depanku. Namun ada yang berbeda dari tatapan matanya. Bagaimanapun Lisa ketika marah padaku, aku masih selalu bisa melihat binar dimatanya. Tapi yang dia tunjukan padaku adalah sesuatu yang lain. Seperti.. entahlah.. matanya sangat sendu bercampur tatapan tajam. Sangat sulit kubaca.

Dan tunggu.. Apakah dia menangis? Kenapa matanya juga begitu sembab?

Aku menelan ludahku karena tatapannya sangat mengintimidasi. Mata kami saling bertatapan namun ini terasa sangat berbeda. Bukan tatapan hangat yang dia layangkan padaku. Aku juga tidak berani membuka obrolan sekarang.

Baru saja Lisa akan membuka mulutnya tapi ponselku berdering. Aku langsung mengecek pemanggilnya dan aku bernafas lega karena itu Appa.

"Hallo, Appa?" ucapku lebih dulu. Aku tidak tahu mengapa dia tiba-tiba menelfonku sepagi ini padahal tadi kami sarapan bersama.

"Sayang, Appa minta kau mempresentasikan progres penjualan kalian tiga bulan belakangan ini pada team disini. Bisakah?" lagi-lagi pekerjaan tambahan seperti ini yang membuatku sangat lelah.

Aku menghela nafas sebelum menjawab Appa, "Baik, Appa. Jam berapa aku harus kesana?" ucapku lemas. Aku tidak akan bisa menolak meskipun aku tidak ingin.

"Sekarang." ucapnya dengan santai.

Aku memijit pelipisku, "Ini terlalu pagi, Appa."

"Tapi Appa membutuhkan itu." benarkan? Mengapa dia harus bertanya padaku bisa atau tidak jika keputusannya tetap harus iya.

THE LOVELY NEIGHBOUR - JENLISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang