IRIS | 2

10.1K 877 23
                                    

BAGIAN 2

***

Kaki jenjang itu terus melangkah menyusuri malam yang telah larut. Sesekali decakan lidahnya keluar untuk mengumpati pria yang mengajaknya bertemu di jam yang seharusnya bagi manusia normal sedang tertidur lelap. Gaun merah semata kaki yang dikenakannya terus berkibar terkena hembusan angin malam. Sementara sepatu hak tingginya terus mengeluarkan bunyi di tengah sunyi.

"Ck! Rumputnya basah." desisnya saat menginjakkan kaki ke atas rumput yang ternyata masih tersisa bekas hujan sore tadi.

"Kenapa harus taman? Kita bisa bertemu di samping rumahku atau.. rumah kamu," dumel wanita bergaun merah itu seraya berjalan menghampiri pria yang telah menunggu di kursi panjang. Bisa wanita itu dengar decakan tak terima si lawan bicara. Lalu tanpa banyak kata, si wanita pun mendudukkan tubuh di samping pria yang telah menunggunya sejak tadi. Ah, jangan lupa dengan umpatan yang wanita itu terima setelahnya.

"Kenapa? Aku nggak semenjijikan itu sampai bikin kamu menolak kita duduk berdampingan." ucap si wanita dengan nada santai.

"Aku nggak mau berbasa-basi."

"Apalagi aku?"

Suara decakan pria itu kembali terdengar.

"Dengar Iris,"

"Heum,"

Iris--wanita itu lebih menyukai memperhatikan kuku-kuku jarinya daripada menatap pria yang selalu memberinya sorot dingin.

"Kamu mendengarku?"

"Kalau nggak dengar, aku nggak mungkin menjawab 'kan?" Iris mendongak sambil memberi cibiran. "Kamu mau ngomongin apa sih? Sekarang udah jam sebelas malam kalau kamu nggak punya jam. Itu artinya, udah waktunya aku buat tidur."

Tristan--si lawan bicara kembali mendesis tak senang.

"Lagian kenapa harus taman? Kamu tahu 'kan, cahaya disini remang-remang. Aku nggak suka."

"Justru itu yang aku suka. Biar bisa bunuh kamu tanpa ketahuan orang."

Iris memutar bola mata.

"Kan aku bisa teriak,"

Tristan enggan meladeni. Akan memperpanjang waktu jika dia menanggapi ocehan Iris. Jika bukan karena terdesak oleh keadaan, mana mungkin dia sudi menemui wanita menor itu.

Ya, menor. Karena sejak dulu Iris selalu menghiasi bibir wanita itu dengan lipstik warna merah terang.

"Hasutan apa yang kamu bilang ke Bunda?" todongnya tanpa basa-basi. "Kita nggak akan pernah menikah. Dan kamu jelas tahu itu,"

Dengan tampang menyebalkannya, Iris manggut-manggut sambil menatap kuku-kuku jari seperti beberapa waktu lalu.

"IRIS!"

"Apa?"

"Aku nggak pernah bercita-cita jadi pembunuh, tapi untuk saat ini aku nggak keberatan sama sekali. Jadi berhenti bermain-main denganku!"

"Bunda yang minta. Aku nggak pernah menghasut apapun. Udah selesai urusan kita 'kan? Aku mau pulang."

Tristan mencengkram kuat pergelangan tangan Iris saat mendapati wanita itu ingin beranjak pergi.

"Sudah aku katakan, jangan bermain-main denganku Iris!"

"Kan aku udah kasih tahu jawabannya," ekspresi wajah Iris tidak menunjukkan rasa takut sama sekali kendati wanita itu tengah menerima tatapan setajam silet. Ah, silet sepertinya terlalu kecil. Bagaimana dengan setajam kapak atau celurit? Yang mana sajalah. Intinya yang paling tajam.

IRISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang