IRIS | 5

8.5K 719 34
                                    

BAGIAN 5

***

Sebagian orang mengatakan bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayah mereka. Tapi tidak bagi Iris. Selama 10 tahun hidupnya, dia tak pernah sekalipun merasakan kasih sayang seorang ayah. Begitu pula setelah akhirnya mereka bisa hidup bersama-sama. Kasih sayang itu pun tak kunjung ia dapatkan.

Ayahnya tak pernah menginginkannya. Padahal sudah jelas jika sejak awal ayahnya lah yang memiliki keinginan untuk menikahi ibunya. Mereka bersama karena cinta sebelum akhirnya berpisah karena harta. Ayahnya yang berasal dari keluarga berada memilih kembali ke pelukan orang tua dan sebagai gantinya harus meninggalkan istri serta anak yang tak bersalah.

Apakah ayahnya merasa bersalah setelahnya?

Maka jawabnya adalah tidak. Ayahnya justru menikah lagi dengan wanita pilihan orang tua yang ternyata jauh lebih kaya. Bahkan setelah ia bergabung menjadi bagian keluarga kaya itu, hidupnya kian miris saja. Tidak hanya mendapatkan luka fisik, tetapi juga luka batin yang kerap ia sembunyikan pada dunia. Ia hanya tak mau jika orang-orang menganggapnya lemah. Tidak. Dia tidak mau.

Plak.
Plak.

Iris sudah memprediksi hal ini akan terjadi begitu dirinya pulang ke rumah agak sedikit malam. Dua tamparan singgah ke pipinya. Oh, tentu saja Adi yang melakukannya. Sementara Ghina berdiri di belakang pria itu dengan sorot dinginnya seperti biasa.

Ah, andai ada Kavi disini, Iris pasti akan selamat dari tamparan serta tatapan maut sepasang iblis dihadapannya saat ini. Mungkin adik laki-lakinya sudah tidur mengingat sekarang nyaris pukul sembilan malam.

"Apa yang kamu katakan pada Bimo?"

Tapi Iris sedikit bersyukur karena Adi ternyata masih bisa bersuara rendah setelah memberinya dua tamparan cukup kencang. Iris mengumpat dalam hati saat merasakan bau anyir disekitaran sudut bibirnya. Pasti berdarah. Ck!

"Nggak bilang apa-apa,"

"Nggak bilang apa-apa?" ulang Adi dengan nada sinis. "Bimo nyaris memutus kerjasama perusahaan kami karena ulah kamu." ia memberitahu sesuatu yang sebenarnya tidak penting bagi Iris.

"Kamu bilang pada Bimo akan menikah dengan pria lain?"

"Oh, ya ampun aku beneran lupa. Emang aku bilang begitu ya? Sorry, Pak Adi. Aku serius lupa."

"IRIS!!"

"Aku dengar, Pak Adi. Nggak usah pakai nada tinggi, nanti Kavi kebangun loh,"

Dan senyuman lebar Iris kian menambah kemarahan Adi dan Ghina.

"Jangan kurang ajar kamu, Iris!!"

"Daritadi aku ngomongnya santai loh, 'kan Pak Adi yang--"

Plak.

Kali ini tamparan berasal dari Ghina. Namun alih-alih memasang wajah memelas, Iris justru terkekeh senang.

"Klop banget ya kalian? Yang satu nampar, satunya nggak mau ketinggalan."

"Hanya karena sudah bisa mencari uang sendiri, sekarang kamu makin berani bertingkah kurang ajar! Apa kamu pikir aku nggak bisa menghancurkan usaha salon kamu itu hah?!"

Iris tersenyum tipis yang justru seperti sedang mengejek di mata Ghina.

"Harusnya kamu berterimakasih karena kami masih berbaik hati mencarikan pasangan yang potensial. Apa susahnya menurut? Lagipula masa depan kamu akan lebih terjamin jika mau hidup bersama Bimo."

"Hidup aku atau kalian?" sahut Iris dibarengi tawa mencemooh. "Sudahlah jujur saja, ini semata demi perusahaan kalian 'kan? Jangan membuat kesan seolah kalian ingin melihatku bahagia. Karena niatan itu bahkan tidak ada sama sekali."

IRISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang