IRIS | 10

9.3K 818 48
                                    

BAGIAN 10

***

Jiwanya terus saja dibuat merana, namun ia selalu dipaksa untuk tak memiliki rasa. Sementara orang-orang mengambil peran yang menyenangkan sebagai penonton atas ketidakberdayaan yang kadang tak sengaja ditunjukkan. Ingin meraungkan pertolongan pun percuma karena tak ada satupun yang sudi meraih tangan tuk bawa ia pergi dari dunianya yang tak baik-baik saja. Bak manusia yang sudah tak memiliki daya, ia hanya pasrah pada takdir yang telah semesta gariskan meski sudut hati kadang meraung tak terima. Tapi siapa yang peduli? Bahkan menangis darah pun, tak akan membuat mereka melepasnya untuk merengkuh bahagia dengan caranya sendiri.


Duduk diam dengan wajah tak bersemangat, Iris mencoba memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut yang terasa perih saat ia mencoba untuk menelannya. Hampir dua minggu ini hanya sedikit nasi saja yang masuk ke dalam perut. Tak heran bila ia dapati tubuh kian kurus dan juga merasa telah kehilangan bobot tubuh cukup banyak. Setidaknya lebih dari tiga kilo hanya dalam kurun waktu kurang dari dua minggu.

"Kamu kurang suka sama lauknya? Mau saya pesankan makanan dari luar? Atau kalau mau, saya juga bisa bawakan chef ternama untuk memasakkan kamu sesuatu."

Ah, Iris baru sadar jika saat ini dia tidak makan sendirian. Tidak seperti dua minggu terakhir dimana dia hanya bisa menghabiskan waktu di dalam kamar. Adi benar-benar tidak memberinya celah untuk keluar. Namun hari ini pria itu berbaik hati membiarkan dirinya bergabung di meja makan. Oh, tentu saja kedatangan Bimo lah yang membuatnya ada disana. Bergabung bersama orang-orang yang tak memiliki hati jelas sangat membosankan.

"Iris! Jangan diam saja. Bimo sedang mengajak kamu berbicara."

Dengan bibir yang tak terhias pewarna apapun membuatnya terlihat pucat, Iris melarikan pandangan pada pria yang besok akan menikahinya namun siang ini datang ke rumah barangkali untuk memastikan dirinya masih hidup.

Meski memiliki keinginan untuk mati, tapi dia akan mencoba untuk tetap bertahan. Setidaknya sampai kejutan yang telah dirinya siapkan diterima oleh semua orang. Kejutan di hari pernikahan pasti akan dikenang dengan baik bukan? Oleh karena itu ia akan menggunakan momen itu dengan sebaik-baiknya.

"Aku nggak lapar."

Meletakkan kembali sendok ke atas piring, Iris sudah bersiap untuk pergi ke kamar sebelum kemudian seruan Adi buatnya mengurungkan niat.

"DUDUK IRIS!"

"Bisa kalian beri kami waktu untuk mengobrol berdua?" ucapan Bimo menghentikan kemarahan sang calon mertua yang usianya hanya terpaut tiga tahun di atasnya.

Menghela pelan, Adi pun mengangguk sebelum kemudian membawa Ghina pergi dari meja makan. Minus Kavi yang dititip di rumah neneknya untuk sementara waktu. Karena jika tidak, maka bocah laki-laki itu akan terus memaksa Adi mengeluarkan sang kakak dari kamar. Atau parahnya, akan mencari cara lain untuk membebaskan Iris setelah tiga hari lalu ketahuan mengambil kunci kamar dari laci di ruang kerja milik sang ayah. Tapi saat itu Adi memergoki sebelum putranya sempat membawa kunci menuju kamar anaknya yang lain.

"Kamu terlihat kurusan."

Iris langsung menepis tangan Bimo saat pria itu hendak menyentuh pipinya.

"Jangan seperti ini, Iris. Besok kita akan resmi menjadi suami istri. Bersikap lembut lah." lalu sebagai gantinya pria 47 tahun itu menyentuh puncak kepala Iris yang membuat wanita itu lantas mendesis terang-terangan.

IRISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang