Hari-hari di atas kapal berjalan lama. Semakin hari tugas yang diberikan semakin berat dan hukuman yang didapat jika melanggar juga semakin kejam. Anak-anak seusia balita hingga remaja itu di perkerjakan paksa oleh para pemimpin disana. Disiksa dan dilakukan semena-mena oleh para pria dewasa lain yang bekerja di kapal tersebut.
Semakin hari itu juga Lucanne mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru. Tempat tidur, jatah mandi dan makan mereka.
Semakin berat dan sulit, dia tetap menjalankan setiap tugas yang diberikan.Aiden memang sesekali membantu tanpa dipinta, anak itu cukup peka jika dia dalam kesulitan. Tetapi anak laki-laki itu tetap sulit membuka diri, setiap diajak bicara Aiden selalu menghindar.
Lucanne jadi merasa aneh, bingung, terlebih anak-anak diatasnya selalu menggoda ia dan Aiden. Dia jadi merasa semua bantuan Aiden adalah paksaan dari anak-anak berumur 9-11 tahun itu.
Gelak tawa menggelegar. Ember pel jatuh membanjiri lantai yang ada. Perhatian semua orang tertuju padanya. Anak perempuan berumur 4 tahun pelakunya.
Bola mata Aiden membola. Ia berlari kearahnya, membungkuk dihadapannya. Segera memeluk sang adik.
"Tidak apa-apa, biar aku yang membereskan."
Iran menundukkan kepala, diam. Dia sangat menyesal, setelah ini pasti kakaknya akan dimarahi oleh pria menyeramkan itu.
“Maaf.” ucapnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Aiden mengangguk. Melepaskan dekapan mereka. Ia menarik ember yang tumpah, kain pel, membereskan kekacauan.
Pandangan Lucanne tak luput dari kejadian itu. Dia mematung ditempatnya dengan pel lain digenggamannya.
“Ada apa ini?! Apa kau tidak waras?! Bekerja seperti itu saja tidak becus. Sudah berapa lama kau di kapal ini, hah? Selalu membuat masalah?!” Pria menyeramkan itu datang dari dalam. Tergesa-gesa menghampiri, ia mengangkat tangan, melayangkan tamparan keras, berkali-kali.
Aiden menunduk, tak bersuara. Hanya ada suara tamparan berkali-kali hingga laki-laki itu terjatuh kelantai. Iran memeluk kakaknya.
Nafas pria tua itu tersengal. Ia belum puas, siap melayangkan kembali pukulan dan tendangan di perut anak itu.
Aiden berbatuk. Ia menyentuh perutnya, sama sekali tidak melawan. Lengang. Semua orang disana hanya menonton, separuh kembali mengerjakan tugas, sudah biasa dengan suasana seperti ini. Bukan hanya Aiden, Iran, tetapi hampir seluruh anak mendapat perlakuan yang sama saat mereka lakukan kesalahan sedikit saja.
BRAK!
Semua perhatian teralihkan. Ember milik Lucanne terjatuh kelantai hingga membanjiri lantai disekitar.
Pria itu melotot. Urat-urat di dahinya menonjol, tinjunya mengeras. “DASAR SINTING!” dia berlari kearah Max. Melayangkan tinju ke kapala anak laki-laki itu.
Lucanne praktis tertunduk. Melindungi kepalanya. Pukulan yang pria tua itu layangkan sangat keras menyentuh lengan dan kepalanya. Tak lupa ia juga meninggalkan tendangan di sekitar bahu dan lengannya.
“Bocah gila! Tidak becus! Ceroboh!!”
“Ma-maafkan saya tuan..” kata Lucanne patah-patah. Ia melirik Aiden yang terbaring tak berdaya, dalam pertahanannya.
“Maaf?! Kau pikir semua makanan dan tempat tidur yang aku berikan gratis?! Bekerja seperti ini saja tidak becus, dasar anak tidak berguna, tidak tahu diri!!”
Ia menunjuk semua anak yang ada disana, geram. “Kalian semua bocah tidak berguna!” kemudian berbalik pergi. Langkahnya berdecit, antara sepatu kulit asli dan lantai kapal yang terbuat dari kayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Between Him (2) [HIATUS]
Action"Kalian akan segera keluar dari penjara ini. Tenang saja," bisiknya kepada Max. Untuk menjadi seorang anggota Crost Herschel bukan hanya semata-mata karena Lucanne memiliki koneksi dari kakeknya. Ia bahkan melalui perjalanan panjang untuk sampai ke...