Diruangan dengan besar ukuran 5 × 5 meter. Penerangan yang minim. Ruangan itu tidak memiliki penerapan, lampu disana tidak berfungsi, kalau dinyalakan, redum remang. Pintu dan jendela kayu di tutup rapat, menghalau cahaya siang hari dari luar.
SYAT! SRAK!
“ARGGHH!” anak laki-laki itu berteriak.
Tali tambang tebal menampak punggungnya ngilu. Punggung berkulit cerah itu berubah, unggu kemerahan, hitam gelap dari sisa-sisa cambukan. Bekas-bekas koresan membekas disana, ada banyak.
Suara teriakan, rintihan dan cambukan memenuhi langit-langit ruangan. Lima-enam anak didalam sana duduk membelakanginya tiga pria yang memegangi masing-masing tali pecutan hewan.
Kedua tangan anak-anak di ikat dengan tali tambang yang kuat. Mereka tidak bisa kabur.
“Berhenti! Argh—maaf! Maafkan aku!” anak-anak merintih.
Tetapi para pria itu tidak memiliki belas kasihan. Mereka bahkan tidak tergerak saat mendengar rintihan kesakitan anak-anak dibawah umur itu.
Luka pecutan sebanyak sepuluh kali tadi pagi bahkan belum kering kembali menerima hantaman yang keras dengan pecutan kuda sebanyak enam kali meninggal bekas merah menyala di punggung kumal dan kotor.
***
Sht..
Rintihan tertahan saat Leone mengigit bibir bawahnya. Ia telat masuk ke kelas selanjutnya setelah mendapatkan hukuman pecutan karena terlambat masuk kelas pagi.
Setelah keributan dikantin dia berlari tertatih kembali ke asrama, membersihkan pakaian dan rambut lalu segera kekelas. Tetapi apa daya kakinya yang terkilir tidak bisa berbuat banyak untuk sampai di gedung sekolah tepat waktu.
Dia terlambat bersama tiga anak lainnya. Di seret ke ruang hukuman bersama anak-anak kelas lain yang juga dihukum karena hal lain.
Setelah menerima hukuman sekitar lima belas menit. Leone dan anak-anak itu diseret keluar ruangan lalu dibiarkan begitu saja.
Sebagian langsung pergi kembali ke kelas. Tetapi tidak sedikit yang memilih mampir ke ruangan kesehatan untuk mengobati luka mereka dengan salep.
Anak itu berjalan tertatih kembali ke ruang kelas. Pelajaran sudah berganti. Anak-anak muda berkumpul dilapangan dalam pelajaran olahraga loncat tinggi.
Pandangan Leone mampir kearah lapangan. Anak-anak lebih muda darinya sangat gigih dengan semangat yang membara. Dibawah tekanan mereka masih bertingkah baik. Berbeda dengannya yang bahkan sudah membuat masalah di awal bulan sekolah dimulai.
Maniaknya menangkap dua orang anak laki-laki yang dirasa tak asing. Satu berambut hitam tebal dan satu lagi berambut cokelat muda dengan kacamata tipis bertengger di hidung manculnya.
Bruk!
Ember berisi air pel terjatuh membanjiri lantai keramik itu. Sang pelaku terkejut saat pandangan lebih tertarik kearah lapangan daripada melihat jalannya.
Anak perempuan itu berdiri. Menggenggam kain pel. Keduanya saling tatap.
“Apa lihat-lihat?!” Leone bertanya galak. Setia memegangi sebelah bahu.
Iran mengerjab-ngerjabkan mata. Menatap air sabun yang membanjiri ibu jarinya. Jika nona berbaju pelayan itu tahu, ia pasti akan dimarahi lagi. Iran kembali menatap Leone.
Hidung remaja laki-laki itu mengerut. “Ku bilang apa kamu lihat-lihat? Makanya kalau bekerja pakai mata. Kau yang menghalangi jalan orang lain!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Between Him (2) [HIATUS]
Action"Kalian akan segera keluar dari penjara ini. Tenang saja," bisiknya kepada Max. Untuk menjadi seorang anggota Crost Herschel bukan hanya semata-mata karena Lucanne memiliki koneksi dari kakeknya. Ia bahkan melalui perjalanan panjang untuk sampai ke...