Pria itu turun dari sebuah Mercedes Benz dengan tas di genggaman dan jas mahal. Sepatunya dipoles. Berdetak ketika bertemu dengan aspal. Dua staff berseragam memberinya hormat.
Pria itu membetulkan dasinya. Berjalan masuk ke gedung sekolah. Langkahnya tegas melewati lorong-lorong sekolah di sore hari. Suara teriak dan sentakan para siswa yang sedang dalam pelajaran bela diri dilapangan menjadi pemandangan yang biasa. Wajah-wajah berbeda setiap tahun dengan suasana yang selalu sama. Anak-anak dengan celana tanpa atasan dan wajah cemong karena tanah kering.
Detakan langkahnya membelok masuk ke gedung lainnya yang lebih modern. Dindingnya kokoh dan setiap ruangan bersih. Hanya para guru dan orang-orang tertinggi saja yang dapat masuk keruangan itu.
Satu-dua pelayan berseragam putih-hitam berlalu lalang mendorong troli minuman. Satu-dua guru berlalu lalang membawa dokumen-dokumen. Mereka semua praktis membungkuk sopan ketika berpapasan dengan pria itu.
"Sore pak."
Soer bahkan tidak melirik. Tatapannya lurus ke depan. Seorang staff membukakan pintu kesebuah ruang kerja pribadinya.
Ia mendudukkan dirinya. Melonggarkan dasi dan melepas kacamatanya. Meletakan tasnya di bawah meja.
Tumpukkan surat di atas meja yang dibawakan pelayan semakin numpuk di sisi meja. Bahkan sudah ada yang menguning. Ia tidak ingat kapan terakhir kali membaca surat-surat itu. Surat-surat yang dikirim oleh satu orang wanita yang sama.
Tok.. tok..
Tatapan tajam pria itu praktis teralih. Pintu besar dibuka oleh pelayan yang membawa alat kebersihan.
Ia membungkuk memberi salam. "Saya datang untuk membersihkan ruangan, pak."
Seor tidak menjawab. Bibirnya diam membisu. Mengambil waktu menyelidiki penampilan wanita itu keseluruhan. Wajahnya lebih muda dan asing.
Wanita itu meletakan ember pel di pinggir. Ia mengambil kemoceng dan mendekati rak buku-buku yang lebih mendominasi ruangan. Isinya tidak hanya buku tapi dokumen-dokumen penting lainnya.
Seor memperhatikan bagaimana wanita itu muda itu bekerja. Rambutnya cokelat kemerahan. Tanpa sadar ia menangkup wajah dengan tinju, tatapannya terus kesana untuk mengawasi.
Tok.. tok.. tok..
Atensi Seor teralihkan. Pria berkacamata masuk keruangan membawa dua tiga amplop dokumen. Ia mengangguk sopan sebelum mendekat.
"Anda mendapatkan kabar dari atasan."
Wajahnya diam menunggu lebih banyak kata yang keluar dari mulut sang staff—seorang wakil kepala sekolah bidang kurikulum.
"Ini dokumen yang anda butuhkan. Dan ini dokumen dari atasan." Pria berjas cokelat itu menyerahkan dua amplop.
Seor menarik amplot yang kedua. Lebih tertarik dengan apa yang atasan sampaikan. Ia mengeluarkan surat dokumen dan membacanya seksama. Sang staff berdiri membantu, ikut penasaran.
"Apakah yang pimpinan sampaikan? Apakah itu sesuatu yang darurat?"
"Tidak." Seor tersenyum miring. Menurunkan kerta dari pandangannya. Matanya menatap kearah sang staff. "Tapi aku berhasil membuat mereka setuju. Setelah sekian lama."
Kening pria berjas cokelat menekuk. "Apa maksudnya itu?"
"Mereka akan mengirimkan dokter ke asrama. Untuk merawat anak-anak sementara waktu."
Bukannya terlihat senang. Staff nya malah menekukkan dahi semakin dalam, tidak senang. "Maksud anda, mereka menyetujui permintaan anda yang telah tertunda sejak tiga tahun lalu? You never give up?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Between Him (2) [HIATUS]
Action"Kalian akan segera keluar dari penjara ini. Tenang saja," bisiknya kepada Max. Untuk menjadi seorang anggota Crost Herschel bukan hanya semata-mata karena Lucanne memiliki koneksi dari kakeknya. Ia bahkan melalui perjalanan panjang untuk sampai ke...