Bagian 4: Tempat Pelatihan

29 9 13
                                    

Kelas memanah ramai oleh anak laki-laki, mulai dari 7-16 tahun. Semuanya laki-laki. Perempuan tidak diizinkan berada ditempat ini dan dilarang selain para staff pengajar dan kebersihan.

Anak-anak yang baru datang beberapa hari lalu mulai terbiasa beradaptasi dengan kehidupan baru mereka di sekolah berasrama.

Tidak seperti yang diperkirakan. Anak-anak dibawa kesebuah sekolah yang di pimpin sebuah lembaga sekolah berasrama dipulau terpencil. Walau pun didaerah tertinggal, tapi tempat pelatihan itu lumayan canggih untuk ukuran sekolah tua. Gedung-gedung besar, kokoh, dan fasilitas sekolah yang mempuni.

Hanya ada desa-desa kecil disana, itupun dibawah kepemimpinan lembaga yang memiliki pulau itu.

Mereka sengaja membuat sekolah tersebut untuk menampung anak-anak. Mendidiknya seperti sekolah diluar sana dengan sedikit peraturan berbeda dari sini-kesana.

Tetapi bagi Lucanne dan anak-anak yang baru turun dari kapal. Keadaan di kapal dengan di sekolah berasrama tidak ada bedanya.

Selain belajar dan tempat tidur yang mereka dapatkan masing-masing—sehingga tidak berebut seperti di kapal. Mereka tetap diperlakukan bagaikan binatang. Mereka masih dipukuli, dipecut dan disiksa setiap kali melakukan kesalahan, sekecilpun.

Sekolah itu bagaikan neraka anak-anak. Mereka didik keras. Salah sedikit saja hukum datang. Cara mengajar sangat teratur, super ketat. Tenaga pengajar dengan bebas mengunakam kekerasan selama mengajar. Termasuk jika mereka ingin anak-anak itu dipukul kepalanya hingga tak sadarkan diri.

Mereka kejam, tanpa ampun dan sangat menjunjung tinggi disiplin. Semua yang dilakukan disekolah memiliki peraturan. Mandi, tidak boleh berlama-lama dan wajib berbagi. Tidur, jangan lebih dari sepuluh malam. Bangun, jangan bangun lebih dari lima pagi. Makan, jatah porsi makanan sedikit dan tidak enak. Sekolah mulai pukul tujuh sampai selesai. Sisanya pelatihan keras dan kerja paksa setiap hari.

Lucanne mengangkat busur panahnya. Ia berdiri lima meter dihadapan sasaran. Ujung panah yang tajam ia arahkan dengan sebelah mata yang terpejam. Melepaskan anak panah yang melesat cepat menuju sasaran.

Nyaris. Benda itu bahkan tidak menyentuh lingkaran merah dan kuning sedikitpun. Benda itu mendarat jauh dari sasaran yang seharusnya.

"Kau hebat."

Anak itu menoleh. Aiden tiba, duduk pada kayu didekatnya, menggenggam subur panah sendiri.

Lucanne mengangguk. Mengambil anak panah yang lain di belakang punggung.

"Kita belum berkenalan dengan benar. Maaf sebelumnya aku bertingkah kasar," ucap Aiden mendapatkan deheman kecil.

"Aku Aiden dan aku memiliki adik kecil bernama Iran."

Alih-alih menjawab pertanyaan, Lucanne malah sibuk mengarahkan tembakan anak panah. Menarik fokus pandangan tanpa menanggapi Aiden sedikitpun.

Aiden menatap kearah Lucanne dan sasaran gantian. Menunggu anak itu melepaskan panah.

Lagi-lagi. Benda itu mendarat tidak sebaik awal, bahkan lebih buruk.

Lucanne berdecak tenang. Emosinya tidak dia bawa kekenyataan, ia cukup baik dalam menahan ekspresi wajahnya tetap tenang.

"Aku masih tidak mengerti." katanya sambil memutar-mutar anak panah lain yang baru dari belakang punggung.

Sebelah alis Aiden terangkat. "Apa yang ingin kau tahu?"

"Kita dibawa dengan kapal itu, hanya untuk ini?"

"Hanya? Kau bilang sekolah ini hanya?"

Lucanne menyumpal mulut Aiden sebelum dia kembali berbicara, lalu berkata. "Maksudku, ini hanya sekolah, kenapa mereka menculik banyak anak untuk di siksa dalam sekolah ini? Ini gila, siapa orang-orang itu?"

The Between Him (2) [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang