Bagian 11: Tidak sendiri

15 2 0
                                    

Wangi obat-obatan diruang yang dingin pada malam hari. Tidak ada suara lain selain detakkan jam di dinding. Ruangan setengah gelap. Hanya mengandalkan cahaya bulan dari luar.

Harum obat-obatan merasuki indra penciumannya. Perlahan membuka kelopak mata. Menyentuh kepala. Pusing sekali.

Ia mencoba mengenali ruangan dihadapannya. Ini bukan seperti kamar asrama yang memiliki banyak kasur dan anak-anak mengorok kecil. Dia meraba kasur disekitarnya. Kosong.

Ia melotot, bangkit duduk. Iran? Astaga dia lupa menjemput Iran?!

Aiden buru-buru turun, mengacuhkan selimbut yang jatuh kelantai. Dia berlari membuka pintu ruang kesehatan. Tetapi sebelum benar-benar pergi, ia membalikkan badan. Melirik kearah bawah kursi tunggu.

Sepasang sepatu putih.

Ia menunduk menatap kedua kaki telanjang. Melihat dua bongkah sepatu menggali ingatannya sebelum tidak sadarkan diri. Ia tenggalam. Siapa yang menyelamatkannya?

Aiden melangkah pelan mendekati. Membawanya pergi. Is verbatim tergesa-gesa diantara koridor yang sepi. Hanya suara langkah terburu-buru dengan panik membawanya masuk ke kamar.

Anak-anak sudah tertidur. Ia tak sempat menatap jam tadi. Tapi ia merasa ini sudah larut. Dan saat melihat jam di kamar. Benar saja. Sudah tengah malam.

Ia melenggang mendekati kasurnya. Takut-takut hal yang dia takutkan muncul. Tiba dihadapan kasur dia, Aiden menghela nafas lega.

Iran sudah tertidur sendirian disana. Dia tenang dan nafasnya normal. Iran tertidur nyenyak seolah tidak memerlukan kakaknya untuk membacakan dongeng lagi.

Benarkah itu, Iran tidak memerlukan dongeng sebelum tidur lagi?

Dan pertanyaan lain muncul dibenak dia. Siapa yang menjemut sang adik kembali ke kamar? Dan apakah dia sudah makan malam? Aiden benar-benar lupa kebiasaan apa saja yang mereka lakukan malam hari.

“Kakak?” Iran menggiau. Membangkitkan kesadaran sang kakak.

Dia praktis mendekat. Merebahkan diri disamping sang adik. Mengusap perut dan kepalanya perlahan.

“Sh.. aku disini, tidurlah,” Ia tidak ingin membangunkan penghuni lain di kamar. Bisa-bisa ia diamuk masa jika Iran merengek lebih kencang.

Mendapatkan sentuhan hangat, kerutan pada dahi Iran memudar. Nafasnya kembali tenang. Ia menutup mata. Bersiap kembali istirahat walau dengan kantuk yang menghilang.

***

Bel menggema. Seluruh murid berbagai usia segera meninggalkan meja makan dan aktivitas mereka menuju ruang kelas. Beberapa kursi sudah dipenuhi siswa. Sisanya baru masuk tergesa-gesa sebelum guru datang.

Leone menemati kursi di pojokan tiga kursi dari belakang. Rombongan siswa dengan penambilan amburadul tak jauh beda dengan dia datang memasuki kelas. Menciptakan kegaduhan sejak mereka tiba.

Salah satu diantaranya sengaja merebut permen yang murid sembunyikan. Ia mendapatkannya diluar sekolah.

“Eh, kembalikan!”

“Diam bodoh! Kembali ke kursimu!” anak itu menciut. Cemberut. Duduk.

Enaknya menjadi rombongan itu, mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka mau dengan cara merampas milik orang lain.

Dan Leone selalu melakukannya. Dia memasang senyum lebar saat tatapannya berpaasan dengan ketua kelompok itu.

Si anak berambut gomplak nyengir. Mendekati, menepuk bahu dia. “Hey, Leone! Nanti kita bermain-main lagi ya, aku suka cara mainmu!” dia tertawa diakhir kalimat.

The Between Him (2) [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang