Wiwiting tresno jalaran saka kulino. Pepatah Jawa ini tak pernah salah. Banyak orang jatuh cinta bukan sebab terpesona pada pandangan pertama, tapi bisa jadi karena terbiasa bersama. Mungkin itu yang kurasakan pada Gus Asna.
Seperti keturunan darah biru lainnya, Gus Asna memiliki wajah yang rupawan. Hanya dengan parasnya itu, banyak perempuan pasti berdebar. Jika dibandingkan dengan Kak Rama, secara fisik mereka tak jauh berbeda. Hanya Gus Asna memiliki kulit yang lebih putih dan bening. Aku bahkan merasa iri sebagai wanita. Tapi, rupawan saja tidak akan bisa membuatku jatuh cinta. Aku hanya mulai tertarik padanya saat dia menunjukkan ketulusannya pada Ning Hajar.
Cara dia melepaskan hatinya dengan gentle membuatku ingin mendapat cinta yang sama. Rasanya mungkin akan sangat menyenangkan jika ada seseorang yang mengharapkan kebahagiaanku lebih dari diriku sendiri. Apalagi jika itu adalah bentuk cinta dari suami, memikirkannya saja membuatku merasa bahagia. Namun, ketika aku ingin mencoba membangun rasa di antara diriku dan Gus Asna, aku selalu dilemparkan pada kenyataan dengan penolakannya yang dingin.
“Sinta, perhatian yang tidak diharapkan itu mengganggu. Aku sudah menahannya saat kita bersama di luar, jadi biarkan aku bebas di kamar, okay? Jangan lakukan hal-hal yang gak perlu.”
Saat itu terjadi, aku hanya bisa mengangguk dan pergi. Dulu aku memakluminya sebab tahu hatinya milik orang lain. Namun, setelah hatinya bukan lagi milik siapapun aku mulai bertanya-tanya ...
Mengapa dia jahat padaku, sedang dia sangat baik pada orang lain?
Dia seorag Gus yang taat, berbakthi pada orang tua juga disukai oleh santri maupun santriwati. Walaupun dia bukan laki-laki manis yang penuh perhatian, tapi dia orang yang penuh kepedulian. Bahkan pada perempuan-perempuan tak dikenal yang iseng meminta tolong saat di jalan hanya sekedar untuk bisa mengobrol dengannya.
Kenapa dia hanya jahat padaku, pada keluargaku? bathinku.
“Gus, jenengan ingat Kakak sepupuku bakal nikah lusa, kan? Apa jenengan bisa nemenin aku ke sana dari pagi? Jenengan selalu ditanyain karena kita gak pernah datang bareng di acara keluargaku.”
“Aku gak bisa, Sin. Kamu tahu kalau pagi aku sibuk di kantor, kan? Mungkin, aku bakal dateng malem pas selesai mulang.”
“Hm, ya udah.”
Usai elakan-elakan yang sangat terang itu, aku pun menyadari bahwa dia hanya jahat padaku. Dia tidak suka denganku, dengan aku yang tidak akan pernah setara dengan dirinya. Lalu, bagaimana bisa aku membangun cinta, saat aku sadar dia bagaikan kenari emas yang tidak mau kugenggam dan terus melambung tinggi di tempatnya?
Walaupun hatiku disakiti seperti itu olehnya, di titik tertentu tepatnya saat sedang putus asa, aku yang tidak bisa kembali pada Kak Rama, terkadang sangat ingin untuk ditatap oleh Gus Asna bahkan jika itu rasa iba.
Di pesantren yang bagai rumah asing bagiku meski aku berusaha keras menyesuaikan diri, aku hanya memiliki dirinya yang berstatus suamiku. Tapi, dia yang secara agama dan negara milikku justru tak pernah menganggapku ada. Kehadiranku bagai debu yang terus berlalu-lalang di sekitarnya. Aku tidak bisa mempengaruhinya selain hanya sedikit terganggu.
Aku yang hidup dalam keadaan itu merasa bodoh jika tetap mengharapkan cintanya. Cinta tak berbalas pada seorang suami ... benar-benar kisah cinta yang paling kasihan.
Aku tidak mau menjatuhkan diriku terlalu dalam. Jadi, aku menyerah. Lagi pula, dia sendiri yang menetapkan bahwa kita tak selamanya bersama. Aku hanya perlu bertahan sebentar lagi untuk bisa melepaskan semuanya.
Lalu, tiba-tiba dia berubah. Suami yang mengabaikanku mulai sedikit perhatian. Aku pikir, dia hanya ingin berbuat baik sebelum kami berpisah. Sama seperti seseorang yang akan pergi jauh dan menghabiskan banyak waktu dengan lebih berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...