Beberapa hari ini, Caroline dan Joseph menghindarinya. Airi tidak melihat mereka berdua datang ke tokonya dan mereka seolah menghindari, tidak cuma Airi tetapi semua orang. Ia tidak berpikir begitu tanpa bukti. Sore kemarin, Airi melihat keduanya sedang jogging bersama saat Airi pulang berbelanja kebutuhan sehari-harinya di supermarket. Selain itu, Caroline dan Joseph sama-sama memberitahunya jika mereka tak akan bisa ikut mengunjungi pesta rakyat hari Sabtu nanti dengan alasan yang berbeda. Joseph bilang ia ada kerjaan yang harus diselesaikan dan Caroline bilang ia akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa lengannya yang cedera. Airi menghela napas dengan wajah berkerut.
"Kamu masih punya cupcake?"
Airi menjerit, terkejut. Tubuhnya secara otomatis berputar menghadap ke arah sumber suara, menemukan Lucien yang datang untuk membeli kue. Pria itu mengerjap, ikut terkejut mendengar teriakan kaget Airi, sementara Airi menyentuh dadanya yang hampir mengeluarkan jantungnya dari rongga.
"Kau membuatku terkejut!" pekik Airi dengan hidung berkerut.
"Maaf." Lucien mengusap tengkuknya.
"Kau kan bisa memanggilku atau membuat suara, bukan tiba-tiba muncul dan bertanya- ah, sudahlah!" Airi menghela napas, memberikan senyum bisnisnya pada Lucien. "Cupcakenya sudah habis. Mau yang lain?"
Lucien menatap wajah Airi lekat, melirik etalase dan menunjuk biskuit yang Airi buat. Masih ada sekitar belasan bungkus yang belum terjual. "Aku akan membeli biskuit yang tersisa."
"Huh? Semuanya?" Airi membulatkan matanya terkejut. "Kamu akan makan semuanya?"
"Tidak," jawab Lucien datar. "Aku akan membagikannya pada beberapa klienku hari ini."
"Memangnya orang yang nge-gym boleh makan biskuit dan cupcake?" tanya Airi seraya berputar menuju etalase dan mengambil biskuit yang tersisa.
"Selama tidak berlebihan, itu bukan masalah," sahut Lucien kalem.
Airi manggut-manggut, membungkus biskuit-biskuit yang dibeli oleh Lucien ke dalam paper bag. Wajahnya berubah cerah ketika teringat sesuatu. "Oh, apakah kau bicara dengan Caroline? Ia menghindariku akhir-akhir ini!"
Lucien menatap Airi dengan kening berkerut penuh tanya. "Ia datang bekerja tadi dan izin pulang lebih awal," jawab Lucien.
Airi membulatkan bibirnya, memasang wajah kesal. "Apa ia bicara sesuatu mengenaiku? Apa aku membuat kesalahan?"
Bibir Airi sedikit maju dengan ekspresi merengut yang muram. Ia tidak mendengar jawaban dari Lucien selama beberapa saat, membuat Airi mengangkat wajahnya dan menatap Lucien yang sedang diam menatapnya. Airi mengangkat alisnya heran. Setiap kali bicara dengan Lucien, Airi menyadari jika pria itu kadang melamun sambil menatap wajahnya.
"Lucien?" panggil Airi membuat Lucien mengalihkan tatapannya dan berdeham. "Kenapa menatapku begitu? Apa ada sesuatu di wajahku?"
"Ada sedikit tepung di pipimu," kata Lucien seraya menunjuk pipi Airi.
Airi membulatkan matanya terkejut. "Benarkah?" tanyanya panik, mencoba menyentuh wajahnya. "Di mana? Apakah aku kelihatan bodoh?"
Airi masih nampak berusaha mencari di mana sisa tepung yang dimaksud oleh Lucien, membuat Lucien melangkah maju dan menyentuh tulang pipi Airi dengan lembut menggunakan ujung jari telunjuknya. Airi terdiam merasakan jari Lucien yang terasa sedikit kasar di pipinya. Tangannya masih dingin, tetapi tidak sedingin saat Airi menyentuhnya waktu itu.
"Sudah hilang," ujar Lucien lalu melangkah mundur dan menatap Airi.
"O-oh, terima kasih." Airi mengerjap gugup dan kembali berpura-pura sibuk membungkus biskuit yang Lucien beli. "Kenapa tanganmu dingin sekali? Apa kamu takut melihatku atau bagaimana?" tanya Airi mencoba bercanda dan menghilangkan salah tingkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake and The Grump
General FictionAiri Flair memutuskan untuk pindah ke kompleks perumahan baru yang jauh dari orangtuanya dengan tujuan untuk hidup mandiri. Siapa sangka jika keputusan pindah ke rumah baru malah membuatnya bertemu dengan Lucien McCoy yang galak dan sangar? Di perte...