Airi membuka matanya, mengernyit sedikit ketika merasakan kepalanya sakit. Sial, ia mabuk lagi. Airi mengumpat dalam hati, beranjak bangkit untuk duduk di atas kasur dan menyadari jika ia tak berada di kamarnya. Airi menoleh ke kanan, melihat tirai putih semi transparan yang ia seharusnya menjadi penutup kamar Lucien. Rasanya, Airi ingin memukul kepalanya sendiri. Ia tidur di kamar Lucien, mengenakan piyama Lucien yang jatuh hingga ke pahanya.
Ah, Airi ingat jika semalam ia menumpahkan daiquiri milik Lucien ke kaus dan celananya, membuat Lucien memaksanya menggantinya dengan piyamanya. Namun, Airi yakin jika ia tidak mengganti piyamanya sendiri karena ia sudah tertidur, atau jatuh pingsan setelah Lucien mencoba membantunya duduk. Airi menatap ke seluruh arah, mengamati kamar Lucien yang cukup rapi. Ada lemari di dekat tempat tidur, diletakkan menempel ke tembok. Di sebelah tempat tidur, ada nakas kecil dengan lampu baca dan jam alarm digital. Ada foto juga di sana, foto Lucien yang kelihatan lebih muda dari sekarang dan lebih kurus, dengan pasangan berkulit putih yang Airi tebak merupakan orangtua Lucien dari cara mereka berpose. Lucien tidak mirip dengan mereka.
Airi mengerjap, segera mengalihkan tatapannya. Tidak sopan mengamati seisi kamar seseorang. Ia menarik napas panjang, turun dari ranjang dengan perlahan, lalu beranjak keluar dari kamar Lucien dengan menuruni tangga kayu. Mata Airi langsung tertuju pada sofa panjang yang ada di ruang tamu Lucien. Ada bantal dan selimut yang terlipat rapi di atasnya. Airi menggigit bibirnya menyadari jika Lucien tidur di sofa karena dirinya. Airi melangkah lagi, hampir mencapai tangga terakhir ketika Lucien menampakkan diri di ujung tangga, tanpa mengenakan pakaian dan hanya mengenakan celemek warna biru navy. Lucien menatap Airi yang baru bangun dengan tatapan datar. Airi meringis, memasang senyum canggung dan penuh rasa bersalah pada Lucien.
"Selamat pagi?" sapa Airi pelan.
Lucien membeku, menatap Airi dengan wajah bagai robot. Matanya bergerak, memandangi tubuh Airi dari atas ke bawah. Ia mengatupkan bibirnya dan membuang tatapannya segera. "Kepalamu pusing?"
"Um, sedikit?" jawab Airi membuat Lucien menatap wajahnya dengan tatapan tak percaya. Airi meringis lagi. "Sebenarnya, aku sangat pusing sampai rasanya mau tidur lagi."
Lucien mendengkus. "Siapa yang tidak pusing jika pingsan setelah mabuk?"
Ia mendumal, tetapi ucapannya tidak terdengar tajam atau kesal. Lebih seperti memarahi Airi karena khawatir. Airi mengamati raut wajah Lucien yang masih datar, menyeringai dengan wajah tanpa dosa ketika menyadari jika Lucien tidak marah padanya.
"Apa kau tidur di sofa karenaku?" tanya Airi melirik sofa panjang Lucien.
"Kadang aku tidur di sofa karena malas naik ke tempat tidur," jawab Lucien. "Namun, ya. Semalam, aku tidur di sofa karenamu. Aku khawatir kamu akan berpikir aku melakukan hal yang tidak-tidak selama kamu tidur."
"Maaf," kata Airi pelan dibalas gelengan tegas oleh Lucien.
"Aku tidak ingin mendengar kata maafmu. Sebaiknya, kamu segera minum obat hangovermu sebelum pusingnya semakin parah. Dan, makan juga sup yang kubuatkan," omel Lucien.
"Iyaaaa." Airi mengerutkan hidung, melangkah lagi tetapi tubuhnya malah sempoyongan karena masih pusing.
Secara otomatis, Lucien mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Airi lembut, memegangnya dengan erat tanpa melukainya. Airi tidak terjatuh, tetapi Lucien tidak bisa membiarkan Airi berjalan sendirian. Ia menggandeng Airi dengan lembut menuju meja makan dan mendudukkannya di sana. Sentuhan Lucien pada yang bisa Airi rasakan dengan kulitnya membuat ia sedikit merinding. Tangannya tidak terlalu dingin seperti pertama ia menyentuhnya. Kali ini, terasa panas. Permukaan telapak tangan Lucien terasa sedikit kasar dan Airi tanpa sadar malah mengamati tangan Lucien yang besar, ditumbuhi bulu-bulu halus dengan otot dan urat yang menonjol. Sepertinya hal itu karena Lucien selalu work out. Airi mengalihkan tatapannya dari tangan Lucien ketika ia melepaskannya, menatap Lucien yang beranjak menuju mesin pencuci piring dengan cermat. Punggungnya yang telanjang dan berotot seolah sedang menyapanya. Airi ingat Lucien menggendongnya di punggung saat ia mabuk waktu itu. Punggungnya kelihatan lebar dan, uh. Seksi. Airi bertanya-tanya seperti apa rasanya digendong oleh Lucien kemarin karena ia lupa. Mungkin ia akan minta digendong lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake and The Grump
General FictionAiri Flair memutuskan untuk pindah ke kompleks perumahan baru yang jauh dari orangtuanya dengan tujuan untuk hidup mandiri. Siapa sangka jika keputusan pindah ke rumah baru malah membuatnya bertemu dengan Lucien McCoy yang galak dan sangar? Di perte...