Pukul sebelas, Airi sudah selesai memanggang kue dan meletakkannya di etalase. Ia sedang menyapu teras depannya ketika sesosok perempuan berambut pirang datang ke Flair's Cookies dengan mengenakan pakaian gym berupa sport bra dan celana training ketat. Airi tidak memasang senyum ketika matanya bertemu dengan mata si pirang itu.
"Jadi kau tinggal di kompleks yang sama dengan Lucien?" tanyanya sambil melangkah naik ke teras Airi yang baru di sapu.
"Uh, sepatumu kotor!" pekik Airi sambil mengernyit. "Bersihkan dulu sana!"
Stefani Ludwig, rambut pirang yang tak diundang itu menatap Airi terkejut, mengernyit sedikit menerima sambutan Airi. "Kau memperlakukan pelangganmu seperti ini?"
Airi menatap Stefani dengan wajah polos, mengangkat bahunya ringan sambil membalas, "aku memperlakukan pelangganku dengan baik, tapi kau kan bukan pelanggan."
Stefani mendengkus tak percaya mendengar ucapan Airi. Ia melipat tangannya di depan dada dan menatapnya meremehkan. "Sepertinya, kau sedikit salah paham pada Lucien. Ia selalu bersikap baik pada semua perempuan dan jika beruntung, ia akan berhubungan badan dengannya seperti yang terjadi pada kalian," ujar Stefani sambil tersenyum miring. "Dengan kata lain, ia tak tertarik padamu dan hanya bermain-main saja. Terima kasih sudah memuaskan hasratnya, tetapi aku akan mengambil alih mulai sekarang."
Airi hanya menyeringai geli. "Kenapa aku harus mendengarkan perempuan yang sudah dicampakkan satu kali olehnya?" tanya Airi masih memasang wajah polos. "Kau memang penyebar rumor yang andal. Tidak heran Caroline membencimu."
"Apa katamu!" Stefani meninggikan suaranya dan menatap Airi kesal. Ia lalu tertawa, tetapi kemudian wajahnya berubah sinis ketika menatap Airi. "Hei, anak kecil! Kau pikir siapa dirimu?"
"Aku? Airi Flair," kata Airi santai. "Pemilik Flair's Cookies dan memiliki wajah awet muda yang manis, tidak sepertimu yang kelihatan seperti perempuan lansia." Airi tersenyum manis. "Oh, maksudku, perempuan lansia jauh lebih cantik dibandingkan dirimu."
Stefani mengangkat tangan kanannya, melangkah maju hendak menampar Airi. Namun, Airi menggunakan sapu yang ia pegang untuk mencegah niat Stefani. Ia menggunakan ujung sapu, mengarahkannya ke perut Stefani dan mendorongnya kuat-kuat dengan satu tangan. Seketika, Stefani langsung melangkah mundur dan berjongkok sambil memeluk perutnya dengan meringis kesakitan.
"Jangan mencoba memukul seseorang yang sedang memegang sapu," kata Airi datar sambil menyapu lagi, tak peduli jika debu-debu lantai mengenai Stefani. "Kau harus belajar banyak, Ludwig."
Stefani meringis kesakitan, menatap Airi geram. Sementara Airi hanya tersenyum tanpa dosa seraya menyapu lagi. "Apa? Sakit?" tanya Airi dengan nada meledek. "Salahmu sendiri."
"Kau memang suka menggunakan kekerasan, Flair."
Airi mengernyitkan kening ketika melihat Daniel berdiri di belakang Stefani. Matanya menatap perempuan itu dengan tatapan kasihan dan setengah mengerti bagaimana perasaannya. Pukulan tangan kosong Airi terasa sakit, apalagi dengan menggunakan senjata.
"Kupikir, aku sudah memperingatkanmu?" ketus Airi sambil berkacak pinggang dan mengarahkan ujung sapunya ke arah Daniel. "Kenapa kau masih kemari?"
Daniel mengangkat tangannya dan menggeleng. "Aku hanya ingin membeli kue. Kebetulan ketika aku datang, kau sedang memperagakan ilmu bela dirimu yang hebat itu."
Airi mendengkus, menatap Stefani yang perlahan berdiri dengan wajah merah padam. Ia kini ganti mengarahkan ujung sapunya pada Stefani. "Pergi dan jangan kembali. Aku tidak akan menerimamu lagi ke tanah suciku."
Stefani menggigit bibirnya kesal, mendelik pada Airi yang membuat Airi melangkah maju hendak memukulnya lagi menggunakan sapu. Stefani melompat mundur, takut jika dipukuli lagi. Ia berbalik meninggalkan halaman rumah Airi sambil memegang perutnya. Ternyata, kekerasan lebih efektif daripada ucapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcake and The Grump
General FictionAiri Flair memutuskan untuk pindah ke kompleks perumahan baru yang jauh dari orangtuanya dengan tujuan untuk hidup mandiri. Siapa sangka jika keputusan pindah ke rumah baru malah membuatnya bertemu dengan Lucien McCoy yang galak dan sangar? Di perte...