[1] Bagai Langit dan Bumi

76 18 18
                                    

Pemuda itu menyipitkan mata kala cahaya dari luar jendela menyusup menerpa wajahnya. Menarik selimut sampai kepala, ia kembali meringkuk menghiraukan suara bising di luar sana. Terserah, lelaki itu tak peduli.

Yang ia inginkan saat ini hanyalah menumpah lelah pada lelap, menjemput kembali mimpinya yang sempat tertunda. Sebab dengan cara inilah ia akan terbebas dari segala yang berkecamuk memenuhi otaknya. Ia terlalu lelah saat ini, ia hanya ingin istirahat barang sejenak.

Satu jam berlalu, ia masih betah bergelung di kasur empuknya, setidaknya sampai seseorang datang merenggut mimpi indahnya.

"Gara, bangun dulu ayo. Katanya ada kelas jam sepuluh?"

Berdecak, pemuda itu segera menurunkan selimutnya. Pada dasarnya dia bukanlah orang yang susah dibangunkan, jadi tak perlu bersusah payah ia akan bangun dengan sendirinya begitu waktunya tiba.

"Mama sejak kapan di sini?" Masih dengan muka ngantuknya Gara menyalimi mamanya yang duduk di pinggiran tempat tidur.

"Semalem, Mama sampai kamunya nggak ada." Wanita itu mengambil selimut di pangkuan sang anak lalu merapikannya.

"Sama siapa?"

"Sama Papa dan Mas kamu. Semalam kamu kemana?"

"Main." Singkat saja, ia kemudian beranjak hendak ke kamar mandi.

"Jangan sering-sering pulang malem, nanti Papa kamu marah, lho."

Menoleh sejenak ke arah mamanya, ia kemudian menanggapi, "Udah biasa kan, Ma?" Gara tersenyum kecil lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Baru akan menuruni tangga, kericuhan sudah memenuhi gendang telinganya. Dapat ia bayangkan betapa kacaunya keadaan di bawah sana.

"Kalila, jangan lari-lari! Abisin dulu nasinya sini," teriakan dari kakak iparnya memenuhi ruang keluarga yang luas.

"Om Garaaa ..." Pekikan bocah perempuan langsung menyambutnya ketika berada di ujung tangga.

Tersenyum tipis, ia kemudian mengusap rambut panjang Kalila yang kini memeluk erat kakinya bak Koala.

"Sana ke Mama, habisin dulu makannya."

"Om Gara baru bangun tidur ya?" Gadis kecil itu memicing tak suka.

Inilah yang Gara tak suka dari keponakannya, meskipun sangat pintar terkadang dia bisa sangat menyebalkan. Tak jarang Gara bahkan kewalahan menghadapi tingkah keponakannya yang kelewat cerdas itu.

"Kata Mama, orang yang bangun siang itu temennya setan. Kalila nggak mau ah temenan sama Om Gara."

Tuh kan, apa Gara bilang juga. Mulutnya Kalila itu sangat pintar dan sedikit berbisa. Seenaknya saja Gara disamakan dengan mahluk itu! Ya meskipun tak berbeda jauh sih.

"Terserah, siapa juga yang mau temenan sama Kalila," ucapnya menggoda.

Bocah itu merengut tak suka, kemudian berlari menghampiri mamanya. "Mama, Om Gara nakal!"

Sesampainya di ruang makan, dengan cepat Gara menyalimi papa dan kakak pertamanya. Kemudian segera menjatuhkan pantat di samping Arsen, kakak keduanya.

"Gimana kuliah kamu, Gar?" tanya sang papa.

"Baik, Pa."

"Kamu beneran nggak mau pindah jurusan?"

Mendadak nafsu makan Gara hilang. Walaupun sudah dia duga, tapi tetap saja ia kesal setiap kali mendengarnya langsung dari mulut papanya.

"Pa ..." Mamanya menginterupsi, "Lagi makan, jangan bahas itu dulu."

Sebisa mungkin Gara menyembunyikan kekesalannya, ia tak mau membuat sang mama sedih.

LIMITLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang