[3] Salah Paham

40 16 19
                                    

Dua minggu setelah kepulangan kedua orang tua beserta kakaknya, kini hidup Gara sudah kembali tentram. Dia bebas mau melakukan apa pun di rumah tanpa harus bersitegang dengan sang papa.

Bukannya Gara tak suka ada papanya di sana, Gara hanya tak mau terus-terusan berdebat. Dia akan selalu merasa bersalah setiap kali selesai berdebat dengan sang papa, dan dia tak menyukai itu.

Walau bagaimanapun juga beliau tetaplah ayahnya, orang yang selalu menyayanginya dari dia lahir hingga dewasa. Dia jauh dari orang tuanya pun papanya tetap memperhatikannya, tak pernah sekali pun papanya lupa akan dirinya. Jadi sudah sewajarnya Gara mengkhawatirkan perasaan beliau.

Gara tau papanya ingin memberikan yang terbaik untuknya, tapi dia juga yakin akan kemampuannya. Dan dia akan membuktikan itu kepada orang tuanya, kepada semua anggota keluarganya.

"Om!" teriakan membahana dari depan televisi mengalihkan perhatian Gara.

Saat ini dia memang sedang menemani Akbar menonton televisi, tapi anak itu malah lebih memilih duduk lesehan di karpet bulu, sedangkan Gara sendiri tiduran di atas sofa. Malah sempat-sempatnya dia termenung.

"Apa Akbar? Kenapa teriak-teriak begitu?"

"Mau minum," ucapnya lirih.

"Om ambilin, jangan ke mana-mana," tegasnya.

Setelah mendapat anggukan dari bocah yang ada di depannya, Gara langsung menuju dapur. Tempat di mana kakak iparnya dan pembantu rumah tangga tengah menyiapkan makan malam.

"Kenapa, Gar?" Nelisa, kakak iparnya pun bertanya ketika melihat Gara berada di dapur.

"Nggak, mau ngambil minum," jawab Gara.

"Oh, kirain si Akbar nangis lagi."

"Nggak, Mbak. Anteng banget itu dia nontonnya."

"Ya gitu, kalau udah ketemu sama Upin-Ipin nggak bakal dia inget apa-apa lagi." Nelisa tertawa lebar di ikuti oleh wanita yang berada di sampingnya.

Gara hanya tersenyum menanggapi, kemudian berpamitan kepada dua wanita pemilik dapur.

"Nih minumnya." Gara membantu memegangi gelas agar Akbar yang sedang meneguk air tak kesusahan. Selesai meletakkan gelas di atas meja, ia kembali mendekati keponakannya. "Nanti nggak boleh teriak-teriak begitu lagi, ya?"

Akbar menunduk kemudian mengangguk pelan. Walaupun Gara kerap kali memanjakan Akbar, tapi dia tak bisa membiarkan Akbar bersikap kasar seperti tadi, apalagi kepada yang lebih tua. Dia sebagai anggota keluarga masih bisa memaklumi, tapi belum tentu jika itu terjadi pada orang lain kan?

Kedua kakaknya juga tak pernah mengajarkan Akbar bersikap semena-mena. Walaupun dia masih kecil tapi tetap harus diajari dan diberi pengertian, agar sifat buruknya tak terbawa sampai ia dewasa.

Mendekat, Gara kemudian mencium pipi gembul Akbar bertubi-tubi sampai sang empunya kegelian dan tertawa terpingkal-pingkal.

"Nda, tolonggg ..." teriak sang ponakan.

"Nggak, nggak ada yang boleh nolongin," ucap Gara sambil mengunci kedua tangan Akbar agar berhenti meronta.

"Hahaha ... Om, lepasin!" Keduanya terbahak sampai berguling-guling di karpet.

Arsen yang baru turun setelah selesai mandi, hanya menggelengkan kepala melihat Gara yang sedang menjahili keponakannya.

***

Setelah selesai makan malam Gara bergegas ke kamar, mengganti bawahannya, ia kemudian melapisi kaos putihnya dengan jaket parka berwarna army sebagai outer nya. Seperti biasa dia akan keluar dan nongkrong di angkringan milik salah satu temannya.

LIMITLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang