[2] Demi Masa Depan

39 17 14
                                    

Nayara memarkirkan motor Beat biru peninggalan ayahnya di depan Apotek. Dia baru saja selesai dari mengantar pesanan.

"Mbak, obat penambah darahnya satu," ucap Nayara kepada petugas Apotek.

Dia yakin pusing yang sedari tadi mendera pasti di karenakan anemianya kambuh. Pasalnya, sudah seminggu ini dia memang susah tidur. Terkadang dalam semalam Nayara hanya menghabiskan waktu tiga jam untuk tidur. Karena setiap jam empat subuh, dia harus mulai menyiapkan membuat kue untuk di antar ke beberapa warung.

Belum lagi kalau sedang ada banyak pesanan, dia akan ekstra kerja keras dari subuh sampai siang. Sedangkan Raksa hanya bisa membantu di hari libur saja.

Walaupun begitu Nayara menikmati pekerjaannya, ia sama sekali tak pernah mengeluh. Dulu saat lulus sekolah, Nayara pernah bekerja di sebuah pabrik. Hanya setengah tahun sebelum akhirnya pabrik tempat kerja Nayara pindah ke luar kota.

Nayara yang tak bisa meninggalkan adiknya, tak ikut pindah ke luar kota. Lagi pula ia tak mungkin meninggalkan rumah peninggalan kedua orang tua mereka.

"Makasih, Mbak." Nayara menyunggingkan senyum, dan berlalu dengan mengendarai sepeda motornya.

Sesampainya di rumah, Nayara segera menuju dapur. Mengambil nasi dan lauk kemudian menyantapnya dengan agak tergesa. Saat ini sudah jam satu siang, perutnya terasa perih sebab dia sedikit telat menyantap makan siangnya.

Selesai makan ia kembali membereskan meja dapur dan meletakkan tumpukan piring kotor ke bak cuci piring. Setelah selesai membuat bolu pisang tadi dia memang langsung mengantarkan pesanan, jadi belum sempat untuk sekedar mencuci piring. Nayara pikir dia bisa membereskan itu nanti sore saja. Pasalnya, dia merasa kelelahan sekali hari ini. Rencanyanya dia akan tidur siang sejenak, mungkin dengan tidur sebentar bisa mengurangi sedikit rasa lelahnya.

Setelah meneguk obat yang tadi dibelinya, Nayara bergegas ke kamar dan merebahkan diri. Semoga saja setelah bangun nanti pusing di kepalanya sudah hilang, begitu harapan Nayara.

***

Sepulangnya dari kampus, Gara segera menuju rumah abangnya, rumah yang sudah dia tempati sejak sekolah menengah atas. Ia memang sudah lama tak tinggal bersama kedua orang tuanya, sejak tamat SMP dia sudah mengikuti kakak keduanya ke ibu kota. Sedangkan orang tuanya sendiri berada di Surabaya.

Sebetulnya dia malas sekali harus pulang ke rumah di saat ada papanya di sana. Tapi mau bagaimana lagi, tadi siang Ardo sudah mewanti-wanti agar dia tak pergi kemana-mana setelah kegiatan kampus berakhir. Alhasil di sinilah dia berada sekarang, menyandarkan tubuhnya pada sofa di ruang tamu milik Arsen.

"Baru pulang, Dek?" tanya istri kakak pertamanya.

"Iya Mbak, barusan sampai," jawab Gara. "Kalila mana, Mbak?"

"Tidur sama papanya. Kecapekan kayaknya, soalnya dari tadi nggak bisa diem."

Gara tersenyum membayangkan betapa repotnya kakak iparnya mengasuh dua anak sekaligus, belum lagi dua-duanya juga sedang aktif-aktifnya. Apalagi ditambah dengan adanya Akbar, anaknya Arsen yang baru berusia tiga tahun. Sudah pasti ketiga bocah itu akan membuat para orang tua kewalahan dengan tingkah ajaib mereka.

"Gara, kok sore banget pulangnya?" Mamanya yang nampak segar sehabis mandi mendekat ke ruang tamu, digendongannya ada bocah laki-laki satu tahun yang sedang menyedot susu dalam dot berukuran sedang. Bocah Itu anak keduanya Ardo.

"Iya Ma, kan pulangnya bareng sama jam pulang kerja, jadinya macet," ujar Gara.

"Ya udah, mandi dulu sana. Udah sholat ashar kan?"

Gara mengangguk menanggapi, kemudian menaiki tangga hendak ke kamarnya.

Begitu sampai di kamar Gara tak langsung mandi, melainkan meraih ponsel di sakunya yang sejak tadi bergetar. Dia tau siapa yang menelpon, tapi sama sekali tak ada niat di hatinya untuk mengangkat panggilan tersebut.

LIMITLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang