Tepat jam sembilan pagi, Prawira dan sekeluarga dari Surabaya sampai dengan selamat di Jakarta. Tak dijemput Arsen, mereka menggunakan taksi untuk menempuh perjalanan hingga sampai di kediaman Arsen. Karena memang Arsen sendiri tadi sedang ada urusan jadi tak bisa menjemput keluarganya.
Sehabis subuh Arsen memang kembali menghubungi keluarganya, dan menceritakan perihal yang dialami adik bungsunya tadi malam. Tak lupa ia juga menenangkan mamanya untuk tak terlalu panik, karena masalahnya pun sudah ditangani.
Baru dua minggu yang lalu mereka semua berkunjung di kediaman Arsen, kini harus datang lagi dengan kabar mengejutkan dari anak bungsunya.
Renita, mamanya Gara tak bisa tenang sejak tadi, bahkan beliau sempat menangis di pesawat. Dia tak bisa berpikir panjang saat itu, karena yang ada dipikirannya adalah bagaimana anak bungsunya menghadapi kesulitan itu tadi malam.
Tergopoh-gopoh wanita yang sudah memiliki tiga cucu itu menuruni taksi dan berjalan cepat memasuki rumah Arsen.
"Ma, hati-hati." Bahkan teguran dari Ardo pun tak ia hiraukan.
Mengucap salam ia kemudian menghampiri Arsen yang tengah menggendong sang cucu. "Arsen, adik kamu mana, Nak?"
"Ma, tenang dulu, Gara baik-baik aja. Mama duduk dulu." Dengan penuh kasih sayang Arsen menuntun Mamanya ke sofa ruang tamu.
"Mama mau lihat Gara." Mata wanita itu kembali menganak sungai membasahi pipinya.
"Gara lagi istirahat di kamarnya. Nanti ya, Ma. Biarin Adek istirahat dulu." Arsen memeluk haru mamanya yang sudah terisak-isak. Dia paham sekali kesedihan mamanya, karena dia sebagai kakak pun sama sedihnya.
"Sen, gimana keadaan Gara." Papanya datang bersama Ardo beserta istri dan anak-anaknya.
"Gara baik-baik aja, Pa. Sekarang dia lagi istirahat." Dengan agak kesusahan Arsen menerima uluran air dari istrinya. Sebelum Akbar yang tadi berada di rengkuhannya beralih kepangkuan sang bunda.
"Minum dulu ya, Ma." Arsen mengulurkan segelas air kepada sang mama.Walaupun terasa berat, Renita tetap menerima dan meneguk air itu dengan perasaan tak karuan.
"Gimana kejadiannya, Sen? Kenapa bisa begini?" Prawira mencoba tetap tenang meskipun wajahnya menunjukan sebaliknya.
Dengan pelan dan amat hati-hati Arsen menceritakan kronologis penggrebekan yang dia dapatkan dari sang Adik dan juga Nayara. Tak lupa ia juga menjelaskan bagian warga yang tak bisa percaya begitu saja, sebab mereka merasa benar tentang apa yang mereka dapati di depan mata para warga tadi malam.
"Tapi Gara beneran nggak berbuat kriminal kan?" Sejak tadi pagi Ardo masih belum bisa tenang memikirkan masalah ini, ia takut kalau adiknya berbuat kriminal yang akhirnya menyebabkan ia dikejar-kejar polisi.
"Nggak, Mas. Gara nggak begitu. Dia bilang cuma nongkrong biasa sama temen-temennya."
"Kita harus mengusut tuntas masalah ini." Tegas Prawira. Ia tak terima masalah besar ini menimpa sang anak.
"Pa, Arsen percaya sama Gara. Dia nggak akan berbuat yang mengecewakan kita." Arsen menatap papanya serius. "Tapi masalahnya, siapa yang akan kita tuntut? Masalah ini memang murni karena salah paham. Sekalipun kita melaporkan, Arsen nggak yakin pihak berwajib akan menganggap serius masalah ini."
Benar apa yang di katakan Arsen, sekalipun keluarga mereka mengusut masalah ini, paling tidak mereka akan berakhir dengan jalan damai antar kekeluargaan. Sebab kesalah pahaman dari warga itu tak sepenuhnya bisa disalahkan. Gara dan Nayara memang berada di situasi yang salah, dan siapapun yang melihat pasti akan berasumsi demikian.
Mereka juga tak bisa gegabah, sebab masalah ini juga melibatkan orang lain. Apalagi Gara sudah menikahi Nayara, mau tak mau mereka sebagai keluarga merasa ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa Nayara.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMITLESS
Romance"Kamu mending pulang aja, tinggal di sini nggak baik buat kamu." "Lo mau ikut pulang sama gue?" "Aku di sini aja, Gar. Ini rumah aku." "Yaudah, gue juga di sini." "Tapi--" "Kita udah nikah. Lo lupa? Jadi, dimanapun gue berada lo harus ikut." Tentang...