Saat ini keluarga Gara maupun Nayara masih berkumpul di ruang tamu rumah Nayara, minus Gista. Karena tadi dia sempat berpamitan pulang, dia merasa tak enak hati khawatir kehadirannya membuat keluarga Gara tak nyaman. Karena walau bagaimanapun dia tetaplah orang asing kan?
Sejak tadi Nayara mencoba berbaur dengan mamanya Gara dan juga kedua kakak iparnya, tak begitu sulit karena kedua kakak iparnya termasuk orang yang humble. Sedangkan Aksa sendiri malah sudah mengobrol santai dengan Arsen. Memang dasarnya Aksa anaknya pandai bergaul, jadinya dia tak kesusahan mengakrabkan diri dengan orang baru.
"Nayara sekarang umur berapa?" tanya istrinya Ardo.
"Dua puluh tahun, Mbak." Nayara menggapai buah jeruk yang diulurkan oleh Kalila, kemudian mengupas kulitnya perlahan. Ini sudah buah kedua yang Nayara kupaskan untuk Kalila.
Bocah itu sejak tadi senang sekali menempeli Nayara, bahkan ia tak segan bergelayut manja dipangkuan Nayara. Dia sepertinya butuh teman bermain, karena Akbar dan adiknya jelas tak bisa diajak bermain boneka atau pun masak-masakan.
"Oh, seumuran sama Gara dong ya," sahut istrinya Ardo lagi. "Kalila, duduknya yang bener dong. Kasihan tantenya ditempelin terus sama kamu."
Kalila sama sekali tak menanggapi mamanya, ia justru asyik mengunyah buah jeruk yang diberikan Nayara.
"Nggak apa-apa, Mbak." Nayara tersenyum menenangkan.
Nayara tak berpura-pura atau sekedar pencitraan saja, dia memang menyukai anak kecil, apalagi kalau anak kecilnya pintar seperti Kalila. Bahkan sedari tadi dia gemas sekali dengan bocah itu, pipi tembamnya Kalila seolah menggoda untuk digigit.
"Nayara kuliah?" Renita sejak tadi memang sudah penasaran sekali ingin menanyakan itu.
"Hm, Enggak, Ma." Nayara meringis malu.
Sudah Renita duga, dengan keadaan mereka yang sudah tak punya orang tua kemungkinan seperti ini kerap kali ada. Bahkan banyak anak di luar sana justru putus sekolah, beruntung sekali Aksa memiliki kakak yang berjiwa besar seperti Nayara.
Gara yang sejak tadi diam berdehem meminta perhatian. "Pa, Gara mau ngambil motor dulu."
Mengalihkan tatap ke arah Gara, Renita lebih dulu menanggapi. "Terus, barang kamu kapan mau dibawa?"
Memang sesuai yang sudah diputuskan tadi, Gara akan tinggal bersama Nayara dan Aksa. Tak mungkin kan dia selamanya akan menumpang di rumah Arsen? Meskipun kakaknya mungkin tak akan keberatan, tapi Gara tak mau lebih merepotkan sang kakak. Akhirnya dengan berbagai macam pertimbangan, keputusan itu pun di ambil Gara, tentunya berdasarkan persetujuan dari Nayara maupun Aksa si pemilik rumah.
Walaupun terasa berat meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama kurang lebih lima tahun itu, tapi Gara akan meyakinkan keluarganya jika ia mampu beradaptasi.
"Nanti malem aja kali, Ma. Biar Abang sekalian bantuin beres-beres," sahut Arsen.
Renita mengangguk paham, sebab ia tak bisa berlama-lama di Jakarta, karena besok senin para lelaki sudah harus kembali bekerja.
"Kalau gitu kita juga siap-siap, supaya nggak terlalu malam berangkat ke bandaranya." Prawira menginterupsi.
"Nay, Mama pamit pulang dulu ya." Renita memeluk erat Nayara.
"Iya Ma, hati-hati. Terimakasih udah mau berkunjung ke sini."
Renita mengangguk seraya mengusap rambut panjang menantunya. "Kapan-kapan kamu pulang ke Surabaya, ya. Ajakin Gara, dia juga udah lama itu nggak pulang." Renita melirik sang anak sekilas.
Gara yang merasa tersindir langsung mengalihkan tatapan pura-pura tak mendengar. Salahkan saja papanya yang selalu mengajak ia berdebat.
Nayara menyalami keluarga Gara satu persatu, saat tiba di depan Prawira dia menunduk dalam, rasanya ia sedikit sungkan berhadapan dengan lelaki berwibawa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMITLESS
Romance"Kamu mending pulang aja, tinggal di sini nggak baik buat kamu." "Lo mau ikut pulang sama gue?" "Aku di sini aja, Gar. Ini rumah aku." "Yaudah, gue juga di sini." "Tapi--" "Kita udah nikah. Lo lupa? Jadi, dimanapun gue berada lo harus ikut." Tentang...