28 - The Final Chapter: The Moon Is Beautiful, Isn't It?

1.9K 223 116
                                    

"Stop! Lo ngarang apaan anjer?!"

Rupin menjitak kepalanya sendiri karena dengan mandirinya membuat fake scenario. Dan itu tentang kematian Nopal!

"Gegara abis nonton film ni, otak gue jadi sok ngide banget bikin cerita."

Rupin menggerutu kesal sembari menaiki tangga rumah mewah ini.

Rupin menghampiri Nopal untuk mengajaknya makan malam atas suruhan Dhani. Ingat! Atas suruhan Dhani! Bukan inisiatifnya sendiri.

"Ini rumah gede napa gada satu pun orang? Nggak pa-pa kan nih, gue masuk?"

"Pokoknya gue cuman disuruh Dhani!" monolog Rupin.

Setelah sampai di depan pintu yang diinstruksikan Dhani tadi, Rupin mengetuknya tiga kali.

"Nopal!" panggilnya cukup keras namun, tak ada sahutan.

Seketika air muka Rupin berubah. Ia menelan ludah tanpa sadar.

Kenapa dari awal masuk mirip khayalan gue?

Rupin langsung menggeleng keras, khayalan ya, khayalan. Kenyataan ya, kenyataan ... tapi kenapa khayalannya terasa nyata?

Rupin terdiam sejenak terpikirkan ucapan Nopal yang mengatakan bahwa Jay mempunyai musuh dan bisa saja menergatkan siapa pun yang berhubungan dengannya.

Jay tidak ada di rumah, dan lainnya pun tidak. Bukankah ini waktu yang tepat?

Rupin menggenggam erat gagang pintu. "Pal, lo di dalem? Gue masuk, ya?"

Pintu segera dibuka dan detik itu juga Rupin merasakan jantungnya seakan terjun bebas melihat Nopal terbaring di lantai.

"NOPAL!!" Rupin menghampiri sang adik dengan kaki yang terasa lemas.

"Nopal! Nopal! Bangun, oi! Lo kenapa, hah?!" ucap Rupin kalut sembari menepuk-nepuk pipi sang adik yang terasa dingin.

"Nopal jingan! Bangun gak lo! Oi, Nopal!" Rupin menggoyang-goyangkan tubuh Nopal yang berasa kaku.

Tak ada respon apa pun dari si bungsu membuat air mata Rupin segera meluncur bebas membasahi pipinya.

"Pal! Lo jangan becanda gini!" erangnya frustrasi dengan suara yang mulai serak.

Rupin mengecek pergelangan tangan Nopal, tapi tak merasakan denyut apa pun.

Sontak tangan Rupin gemetar hebat dan raungan tangisnya semakin keras. Rupin menyentuh dadanya yang terasa amat sesak.

"Pal, gue harus apa anjer?! Lo serius, hah?!" erangnya sembari mengguncang tubuh Nopal.

Lalu mata sembabnya menatap pada wajah pucat sang adik.

"O-oh! Napas buatan! Iya! Kasih napas buatan!" celetuk Rupin di sela isakannya.

Rupin menghapus kasar jejak air matanya. Tangannya terulur menyentuh kedua pipi Nopal lalu perlahan mendekatkan wajahnya.

Tiba-tiba suara nyaring seseorang menggelegar di belakangnya.

"CUT! CUT!" teriak Dhani panik.

Rupin terkejut menegakkan tubuhnya.

"Napa mau lo cium jingannn?!"

"Hah?" Kebingungan tercetak jelas di wajah melongo Rupin.

"Rupin anjer, di skrip gue gak ada adegan snow white!" misuh Dhani sambil berkacak pinggang.

"Hah?" Rupin benar-benar clueless.

"Hah, hoh, hah, hoh! Lo pikir kalo dicium bangun, hah?!" Dhani rasanya benar-benar geram dengan kelemotan Rupin.

Rupin langsung menoleh ke arah Nopal yang tengah menatapnya. Tentu saja dengan mata yang terbuka. Mata terbuka.

[✓] Wabi-Sabi; NoPinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang