Tentakel

2.7K 310 15
                                    

([Name] POV)

Disepanjang jalanan yang masih sepi ini—selepas genosida kecil atas klan Zenin. Aku dan Maki berjalan beriringan tanpa ada niat membuka pembicaraan. Aku memperhatikan setiap gerak-gerik sepupu ku ini, masih heran dengan perubahan fisiknya yang sangat signifikan. Entah apa yang menjadi alasan tentang perubahan ini, namun aku yakin, alasan itu telah membuat bocah kecil ini tidak stabil dan terguncang. Namun aku takjub padanya, ia masih bisa berusaha untuk tetap tenang dan teguh akan apa yang menjadi tujuannya. Maki yang selalu dewasa.

Aku melirik nya, tanganku bersedekap. Melihat pemandangan jalanan kota yang benar-benar kacau. Beberapa mayat berserakan. Aku tak pernah memaafkan Kenjaku atas apa yang diperbuatnya. Mau bagaimanapun, melibatkan warga sipil yang tidak tahu apa-apa adalah hal yang sangat keji dan ilegal.

"Sensei, katakan padaku dampak terburuk yang bakal terjadi jika saja... Si Bodoh itu nekat keluar dari sana," Tanyanya.

Aku diam sejenak. Berpikir. Satoru itu kuat, ia diberkati dengan kemampuan teknik terkutuk turun-menurun dari klan Gojo. Pasti sangat susah untuk Kenjaku.

"Aku hanya bisa memikirkan jika tujuan Kenjaku bukan membunuh Satoru. Mereka hanya menyingkirkannya. Kau pikir Satoru tidak akan membuat mereka kelimpungan?"

Aku tersenyum geli padanya. Maki memberi respon yang sangat bagus, ia tersenyum kecil. Aku mengusap punggungnya, membiarkan naluri ku bekerja.

"Jadi sekarang, ayo temukan Megumi dan Yuuji. Aku khawatir dengan mereka berdua," lanjut ku.

Maki mengangguk lembut, ia mempercepat langkahnya begitu juga denganku.

Ditengah perjalan, kami bertemu dengan roh terkutuk tingkat spesial. Mahkluk itu bertubuh besar hingga mencapai ukuran dari setengah gedung pencakar langit. Mau tak mau kami harus melawan. Aku melihat Maki dari arah ku berdiri, ia sudah memasang kuda-kuda dengan senjata terkutuk tingkat satu yang ia pegang di tangan kanannya. Sedangkan aku mengambil posisi merunduk setengah badan, posisi yang pas untuk melakukan penyerangan karena dengan ini aku bisa melesat dengan mudah kapan saja diberbagai arah.

Roh itu bergerak tak beraturan dan menggumamkan kalimat-kalimat yang tak ku pahami. Namun serangannya sangat teratur. Tebasan demi tebasan dilayangkan, kami masih dalam mode defensif. Semaksimal mungkin meminimalisir luka ataupun gerakan yang tak perlu. Aku berulang kali memperingatkan Maki supaya tidak menyerang dari depan karena roh ini sangat agresif dan selalu berteriak kapan saja.

Teriakan menyebalkan itu memekikkan telinga, aku berulang kali harus siap sedia menutup kedua telingaku secepat mungkin. Gelombang ultrasonik yang ia ciptakan benar-benar mengganggu. Aku melihat fokus Maki pecah saat roh itu berteriak lagi, untuk ke limabelas kalinya. Maki limbung beberapa detik, meraih tiang listrik untuk dijadikan tumpuan.

Roh itu mulai menggila saat melihat Maki yang sudah lemas, ia berteriak kegirangan sambil terus memberi tebasan yang super keras menggunakan tentakelnya. Aku melompat, mengambil arah memutar dari pojok gedung pencakar langit. Bergerak lincah menembus beberapa kaca hingga menimbulkan suara yang sangat keras. Roh itu mulai panik melihat pergerakan yang tak pernah ia sangka, ia mulai menggerakkan tentakelnya tak beraturan. Ke sana kemari, seperti orang kesetanan.

Aku mendesis, melayangkan tatapan tajam ku padanya. Dengan kecepatan sepersekian sekon, aku menciptakan pedang yang terbuat dari salah satu material paling kuat yang pernah ada di bumi. Panjangnya melebihi tinggi badanku, terlihat mengkilap dengan berat yang sangat ringan.

Aku melompat dari ujung pembatas gedung, kembali melakukan gerakan memutar. Aku menetapkan titik vitalnya, ada di mata. Berada di bawah tentakelnya. Tanpa kesulitan, aku menusuk kepalanya terlebih dahulu, membuat luka sayatan yang kira-kira sepanjang sepuluh meter. Roh itu berteriak kesakitan, kali ini teriakannya lebih berisik daripada yang lalu-lalu. Aku menggeram, tak memberi ia kesempatan hanya untuk sekedar berteriak lagi. Dengan lincah, aku memotong tentakelnya—sepuluh tentakel sekaligus dalam sekali tebasan.

Aku kembali berdiri di pembatas gedung, menarik napas dalam-dalam. Aku melihat Maki sudah terduduk tak berdaya dibawah sana, sambil melihatku tanpa emosi dari situ. Aku membuang muka, teknik terkutuk yang sudah lama ku sembunyikan akhirnya ku gunakan. Keadaan genting, aku membawa satu nyawa dibelakang punggung ku, nyawa Maki bergantung padaku. Roh terkutuk seperti ini bukan tandingannya.

Aku melompat kembali, terjun dari atas gedung. Aku menukik tajam saat hampir menginjak tanah, gerakan memutar aku terapkan. Aku melihat matanya yang juga sedang menatapku, aku menyunggingkan senyum mengejek. Roh itu juga menggeram. Dengan cekatan, aku mengubah pedang itu menjadi serbuk logam yang tajamnya mengalahkan sebuah katana yang baru diasah. Mustahil dilihat dengan mata telanjang bagi orang awam, namun dengan cepat serbuk itu naik keatas, menghujani mata roh itu dengan ganas. Ia berteriak kesakitan—sekarat. Aku melihat Maki sudah mendapat kesadarannya kembali, ia terperangah, matanya berbinar dibalik raut wajahnya yang tetap datar.

Maki bangkit berdiri, mengambil senjata terkutuknya. Sebagai langkah final, ia melompat, mengambil posisi tepat dibawah mata mahkluk ini lalu ia melemparkan senjatanya; membiarkan benda itu ikut menyerang dan menghantarkan gelombang panas. Aku menarik Maki menjauh, karena sebentar lagi roh itu bakal musnah dilahap kobaran api yang sangat besar. Kami berdiri sejauh dua kilometer dari lokasi, melihat dan mendengar suara kesakitan itu. Dan pada detik kedelapan, suaranya lenyap dan roh itu berubah menjadi abu.

Maki menatapku dalam-dalam, ia masih bergeming. Aku juga menatapnya, memberikan senyum teduh yang paling bisa aku buat untuk saat ini. Mengusap lengannya, sambil meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.

"Untuk kali ini, aku percaya jika kau adalah musuh terberat Satoru," gumamnya.

Aku terkekeh, mengangkat bahu.

"Itu terlalu melebihkan, tapi... terimakasih."

Maki membalikkan badan, berjalan mendahului ku. Aku menghela napas, membersihkan debu yang berada di baju ku berkali-kali. Aku mengikuti langkah Maki dari belakang, sedari awal aku tak berniat menuntunnya. Ia harus menemukan jalannya sendiri tanpa perlu diberi tahu.

Maki adalah wanita yang tangguh, aku percaya padanya; begitu juga dengan Satoru. Jauh-jauh hari ia pasti melihat potensi yang ada pada Maki. Melihat punggung yang tegap itu dari belakang, walaupun aku tahu, Maki sangat rapuh. Ia masih berduka karena kehilangan Mai, aku tahu itu. Ia tak butuh dihibur, ia hanya ingin seseorang mengerti dan berjalan bersama dengannya.

Aku menghembuskan napas panjang, berada dalam satu garis keturunan klan Zenin membuatku sedikit merasakan apa yang ia rasakan. Di buang dan tak dianggap, diremehkan serta ditindas. Aku tahu rasanya, aku pernah mengalami yang jauh lebih buruk. Saat ini aku justru mengkhawatirkan hal-hal kecil, seperti: apakah ia sudah makan? Aku tak tahu mengapa naluri seorang ibu tiba-tiba saja hinggap di kepala ku. Tetapi pada ujungnya aku hanya diam, aku enggan menanyakan topik basa-basi seperti itu. Kesuksesan misi menjadi prioritas utama, menemukan Megumi dan Yuuji setelah itu mencari Kurusu Hana—berusaha membuat wanita kecil itu mau berpihak pada kami dan melepaskan Satoru dari penjara.

Aku merogoh kantong bajuku, menyentuh seonggok kertas lusuh. Surat Satoru masih ku bawa kemanapun aku pergi. Ini adalah kenangan yang terakhir ia berikan padaku sebelum di segel. Aku tak bisa melihat adanya peluang, namun aku tak mau putus berharap begitu saja. Bagaimana caranya, aku harus mengeluarkan dia. Untuk kali ini, tak peduli cara sekotor apapun itu, akan ku lakukan. Dengan kata lain, aku menghalalkan segala cara. Tekadku sudah bulat, keputusan final dariku. Tak akan pernah ada yang bisa membuatku goyah.


To Be Continued

Blue Eyes [Gojo x Reader] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang