MALAM besoknya tiba dan aku sudah selesai berpakaian. Sesuai perjanjian kemarin pun kami akan menonton malam ini, namun suasana hatiku tiba-tiba merasa diambang gundah tidak jelas. Mungkin perihal tak kuat lagi menahan tekanan batinku yang berlebihan pasca-melejitnya namaku yang santer dibicarakan bahwa 'dia adalah adik dari Danial Rasyid Fauza'.
Kenapa memang kalau aku adik Kak Nial? Dia hanya lelaki biasa, politikus bukan, narapidana bukan, orang terpandang bukan, kenapa jadi seolah-olah sangat dibesar-besarkan. Iya memang, kemampuannya mengelola sebuah kanal terbilang sukses, tapi aku kan tidak termasuk ke dalamnya sampai-sampai apa yang ada pada Kak Nial menjadi hal identik yang merupakan bagian dari diriku juga.
Harapanku kini semoga channel tersebut segera jatuh dan tak ada yang menunggu tayangan terbarunya lagi, agar aku bisa meluangkan lebih banyak waktuku tanpa gubris dari orang lain. Tak ada yang memuji ketika mengambil gambar bersama, tidak ada yang mencie-ciekan frame-ku, dan kalau boleh jujur pun aku tidak berminat lagi mengambil gambar dengan Kak Nial semenjak hari Kak Nial mulai dikenal publik.
Tahu kan risiko menjadi bagian dari dunia hiburan?! Telinga, hati, jiwa, dan raga harus siap mendapat pujian dan celaan. Aku adalah satu di antara banyaknya manusia yang tidak bisa mendapatkan keduanya. Terlalu lemah mendengar celaan dan terlalu cepat tersanjung mendapat pujian. Itu aku.
Masih dalam posisi tengkurap, ciutan pintu kamarku akhirnya menggema menandakan Kak Nial sudah siap untuk keluar menonton. Aku masih belum menggubris kedatangannya dikarenakan baru saja melaksanakan sholat Isya juga, masih dalam mode malas bergerak.
"Yah, belum siap-siap ternyata!" ujarnya sembari ikut mendaratkan kepalanya di punggungku yang terbaring sesaat setelah melihatku masih mukenahan, padahal di baliknya aku sudah sejak tadi berpakaian.
"Berat tahu ..." keluhku masih tak bergerak.
"Nontonnya jam berapa sih?"
"Hmmm, Kak ..." panggilku tak peduli pertanyaan Kak Nial barusan.
"Kenapa?"
"Boleh nggak hari ini jalan aja, nggak usah video-video dulu?!" kataku.
"Kenapa emang?"
"Alma pengen deh punya waktu khusus sama Kak Nial, nggak ada kamera, nggak dicie-ciein orang, nggak jadi komsumsi publik. Kak Nial kan kakaknya aku, aku punya hak waktu ke Kak Nial ..."
"Jadi selama ini Kakak kurang waktu ya ke kamu?" Nada Kak Nial tiba-tiba ikut sendu.
"Enggak gitu. Kakak selalu perhatian kok sama Alma, nggak ada yang ngalahin malah. Alma cuman pengen sekali-kali waktu buat Alma gak di-publish-publish terus. Kita kan hidup bukan buat nyenengin orang lain, Kak, kita punya hidup sendiri," kataku.
"Gara-gara foto yang kemarin, ya?"
"Bukan soal foto kemarin. Alma sebenarnya udah lama mau cerita tapi tunggu waktu yang pas aja. Alma tuh sayang banget sama Kakak, tugas kuliah Kakak udah banyak ditambah harus edit-edit video lagi, iya sih Kakak bisa dapet uang lewat channel itu, tapi Kakak juga pasti capek, kurang tidur. Alma nggak mau Kak Nial nanti ikutan sakit kaya Alma,"
"Ya udah kalau gitu hari ini nggak ada video, Kakak juga bakal jadwalin tutup channel-nya ... kalau Alma memang senengnya yang kaya gitu," lirihnya berhasil membuatku melega sekaligus bercampur pikir yang terpojokkan rasa bersalah, bagaimana tidak Kak Nial menerimanya tanpa sepatah perlawanan pun.
"Siap-siap gih, Kakak tunggu di luar, ya," sahutnya lagi segera bangkit dari bantalannya di punggungku lalu keluar tanpa menoleh lagi. Kak Nial tampak berusaha keras menerima segala inginku yang telah mengganggu kesenangannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DZEMILA
Teen FictionDia selalu berdetak setiap aku rindu dengan senyumnya lagi, seperti setiap rindu yang selalu terbayar lunas mengingat dia menyatu denganku sekarang. "Hai, Wil. Long time no see, kita udah dua tahun nggak ketemu ya, dan baru sekarang bisa ngobrol lag...