5. It is Monday

88 9 1
                                    

ESOKNYA aku sudah bangun lebih awal dari hari biasanya, mentari pagi bersinar menyambut jendelaku yang akhirnya kubuka. Memang setiap Senin aku harus bangun lebih awal dikarenakan kewajibanku mengikuti upacara rutin penaikan bendera.

Mata di muka jendelaku sejenak tertahan memperhatikan pemandangan langka halaman di bawah sana. Kulihat ada mobil tambahan memarkir selain mobil milik Kak Nial dan Tante Reina di bawah.

Aku segera turun dengan pakaian seragam sudah lengkap menuju ke dapur, aku ingin memastikan kepada Tante Reina bahwa dugaanku tentang pemilik mobil tersebut tidak salah.

"Tan, Kak Willi dateng?" tanyaku penasaran namun tetap mengecilkan suara takut terdengar olehnya.

"Hush, orangnya di kamar mandi," bisik Tante Reina memintaku mengecilkan suaraku lebih kecil lagi sebab jarak dapur dan kamar mandi kamar tamu tidak terlampau jauh.

"Bener Kak Willi dateng?" bisikku memastikan kembali dengan sangat pelan.

"Iya, bareng temennya tengah malam tadi,"

"Mama?"

"Belum flight. Kata Willi berangkatnya besok pagi bareng temennya Bram,"

"Oh gitu. Ya udah deh. Oh iya, Kak Nial udah bangun belum?" ujarku masih berbisik, namun jawaban yang kudapat hanya gelengan kepala dari Tante Reina pertanda Kak Nial belum pernah terlihat turun dari bawah dan belum tahu tentang kedatangan Kak William.

"Hash, ini kan Senin, gimana sih?" dengusku berlari lagi hendak segera ke atas membangunkan Kak Nial. Namun, ketika keluar dari dapur tadi, langkahku tiba-tiba terhenti disebabkan harus berpapasan dengan langkah Kak Willi yang juga berjalan menuju ke dapur. Seketika itu aku jadi kikuk ketakutan untuk mendongak melihatnya, persis seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.

"Where are you going on?" tanyanya berbasa-basi, mungkin pasal melihatku ketakutan berhadapan dengan dia.

"I... I wanna wake ... Kak Nial up," balasku terbata-bata.

"It is Monday, aren't you late for going to school?"

"Its okey. Kak Nial will take me quickly,"

"Ch! Let me take you to school today. You'll be late if you're still waiting for him," katanya segera meninggalkanku keluar ruangan.

Aku hanya menurut ketakutan tanpa niat membangunkan Kak Nial, Kak Willi pasti akan marah jika menyempatkan diri membangunkan dia lagi sedangkan Kak Willi sudah menunggu di luar hendak mengantarku. Aku segera naik mengambil tasku lalu berlari setengah nyawaku sampai di batas pintu, selebihnya aku berusaha terlihat berjalan seperti biasanya menuju mobil. Nafasku hampir saja sesak menahan degup kencang habis berlari dari lantai atas ke bawah.

Kenapa juga dia tiba-tiba mau mengantar, biasanya sepagi ini dia masih tertidur!

"How old are you?" sahut Kak Willi menanyakan umurku tiba-tiba di antara keheningan mobilnya, aku sampai gugup menjawab sakin perasaan takutku berkali-kali menunjukkan diri berhadapan dengannya.

"Eh... six... sixteen," balasku terbata-bata bagai habis berpikir panjang.

"Huh, so young! But its okey, your English's pretty good. Kalau diajak Mami ke Amerika, kamu mau tidak?"

"Haah?" Spontan aku terkejut. Apa katanya tadi? "Hmmng ... Aku masih mau melanjutkan sekolahku di kampus Kak Nial nanti," sambungku masih penuh hati-hati.

"Oh,"

Dia hanya balas mengangguk-angguk paham sampai jawabanku pun ikut bisu tak bernada juga.

"Are you scare fot look at me?" tanyanya lagi kini melirikku dengan ujung matanya, tiba-tiba badanku dingin mengedarkan pandangan grogi hanya berani melirik jari-jemariku yang bermain.

DZEMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang