4. Weekend

68 10 0
                                    

SINAR cerah akhir pekan pagi itu melambung tinggi di derajat 35 langit Jakarta. Masih seperti weekend-weekend biasanya Kak Nial selalu saja punya kesibukan bahkan di hari libur sekalipun, dia tak pernah keluar melakukan kegiatan outdoor menyenangkan berdua bersamaku, paling hanya di rumah seharian atau keluar sih, tapi tak pernah di tempat-tempat menarik. Kalau bukan ke rumah temannya mengerjakan tugas, opsi kedua pasti ke kampusnya hendak memperkenalkanku dunia perkuliahan sedini mungkin. Membosankan, kan?!

Selain Kak Nial yang selalu sibuk di akhir pekan entah sebab tugas-tugasnya atau pekerjaan sampingannya tersebut, aku pun juga tak sepenuhnya bisa bersamanya lagi sekarang. Dia menuntunku mengambil kelas tahsin sehingga waktu liburku bisa terbagi dengan kegiatan positif selain mengikutinya terus ke mana-mana.

Untuk pekan kali ini sebelum dia mengantarku ke tempat tahsin dia mengajakku ikut ke kampusnya lagi terlebih dahulu untuk menunggunya sebentar mengikuti rapat UKM, sebuah unit kegiatan mahasiswa yang belum kupahami tujuan organisasi tersebut sebenarnya apa. Wajar, aku kan belum jadi mahasiswa!

Aku duduk di baris terbelakang dari perkumpulan tersebut layaknya seorang mahasiswa sungguhan yang tengah khidmat mendengarkan penjelasan kakak tingkatku di depan sana, sedang Kak Nial dia sibuk kiri kanan mengambil shot kegiatan tersebut. Kali ini bisa kuterima sebab pekerjaan Kak Nial sekarang merupakan tuntutan dokumentasi, bukan sepenuhnya inginnya. Sekalipun nanti akan digunakan sebagai bahan kontennya juga sih!

Selang beberapa puluh menit rapat tersebut akhirnya usai dan kamera Kak Nial tiba-tiba saja menghilang dari padangan mataku. Ke mana lagi dia, bukannya menghampiriku malah dia menghilang! Ketika berbalik aku sampai terkejut sebab tiba-tiba Kak Nial berteriak sembari memfokuskan sorotan kameranya kepadaku.

"Hish, apa sih nih?! Ngagetin aja," kataku menimpuk kamera tersebut menjauh.

"Gimana, Dek, rasanya ikut UKM?" tanyanya berbicara padaku namun arah pandangnya tertuju pada layar kamera.

"Gak tahu," balasku sudah berjalan membelakanginya tidak ingin wajahku terus menyampahi isi kamera juga kontennya kelak.

"Tadi pematerinya ngomong apa?"

"Gak tahu ah, cepetan jalan," pungkasku segera menarik jemari Kak Nial pergi dari tempat tersebut.

"Mau nyebrang guys, harus pegangan," sindir Kak Nial meledek genggamanku. Aku sama sekali tak peduli lagi, aku hanya ingin segera sampai di tempat tahsin dan dia akan menungguku di luar kelas sembari bercengkrama dengan isi laptopnya.

"Jadi habis ini kita langsung ke tempat-"

"Hush!!!" Aku kembali menyergah cepat-cepat tatkala peka Kak Nial hendak membeberkan penjelasan ke mana mobil akan berhenti di hadapan manusia tak kasat mata di dalam kameranya itu, "Nggak usah dikasih tahu! Kata ustadzahku sebisa mungkin kita harus menutup potensi supaya nggak memamerkan amalan-amalan," lanjutku pendapat sorotan gemas dari si pengemudi.

"Kan biar orang jadi terinsipirasi juga, Dek,"

"Kakak nggak bisa ngejamin niat awal Kakak akan tetap sama. Jadi nggak usah bahas itu lagi!"

"Yaudah okey, jangan bahas itu, bahas yang lain aja," ujarnya tersenyum aneh sembari membagi fokus antara jalanan dan kamera di dashboard, "Jadi gimana kemarin kata dokter, Pony kenapa?" sambungnya berusaha menemukan satu topik bahasan, sesaat itu juga kepalaku malah melenceng mengingat yang lain.

"Jangan bahas Pony, nanti keselek. Mending bahas ini, jadi ..." ujarku mengambil nafas panjang, "Kemarin itu, Kak Nial habis gebet anak orang terus di-"

"Alma!!! Kenapa jadi ngomong itu?!" Bola matanya merontah mempelototiku.

"Terus di-chat di WhatsApp. Tahu nggak yang bal-"

DZEMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang