2. Familia

94 8 0
                                    

"HELLO guys, jadi kita lagi siap-siap buat ke rumah Om Abbas, kakak tertuanya Ayah. Di sana lagi ada acara keluarga gitu dan pasti bakalan rame lagi di rumah sana karena akan ada Nicko, ada Aksa juga nanti, ada Sandra, Jihan, dan para bocah-bocah juga. Stay tuned pokoknya, ya ..." Kak Nial kembali berulah dengan memoteh di hadapan kameranya.

"Ini nggak ada yang lupa, kan, Dek?" tanya Kak Nial lalu datang menghampiriku di meja makan.

"Kakak mau bawa apa emang sok-sok nanya gitu?!"

"Hiiih, sensi. Yuk ah, berangkat. Guys, yuk kita berangkat sekarang," imbuhnya lagi, kini mematikan kameranya dan bergegas menuju mobil.

Hanya kupatuhi saja, langkahku ikut menelusuri petak kubin lantai menuju pintu keluar rumah, seperti niat awalnya kemarin pun dia benar-benar akan memanfaatkan kunjungan kami ini menjadi puing-puing rupiah ... lagi.

Bokongku mendarat di jok depan dengan Kak Nial menjadi supirnya, sebuah kamera juga ikut diletakkan di dashboard mobil hendak mengawasi gerak-gerik kami selama perjalanan, dari mengobrol ringan, berkaca, dan apa pun itu. Namun, sebab telah dibiasakan oleh Kak Nial dengan aktivitasnya yang suka berbicara dengan kameranya itu aku sendiri jadi sudah sangat terbiasa.

Sekalipun aku tak pernah suka jelmaan gila Kak Nial yang seperti sekarang ini!

"Waduh, udah pada ngumpul nih!" sahut Kak Nial memecah cekikikan di antara kerumunan sepupu-sepupuku yang berusia cukup dewasa di sofa ruang tamu. Sontak mereka langsung menyambut kedatangan Kak Nial dengan high five ala-ala tiga lelaki aneh itu. Sok sangat akrab lagi mereka mentang-mentang sedang recording.

"Ini Alma kenapa lagi nih? Sini, Al duduk deket Kak Jihan!" panggil Kak Jihan, dia anak dari kakak kedua Ayah. Tak ambil pusing aku segera duduk di sampingnya.

"Habis diapain sama Nial, kok sumpek gini mukanya?" Suara Kak Jihan masih diliput tanya.

"Keciduk ngupil di jalan tadi, ahahaha ..." sambar Kak Nial tertawa puas.

"Iiih, aku gak ngupil. Kak Nial apaan sih suka banget fitnah!"

"Entar lu semua liat kalau udah tayang, ya,"

"Kak Nial, iiih ... jangan!" Kak Nial terus saja menggodaku. Siapa yang makin tidak kesal coba?!

"Gak apa-apa kali, Al, ngupil, kan wajar manusia," sahut Kak Nicko yang berdampingan dengan Kak Nial. Iya, otak kalian memang tak ada bedanya, sama-sama suka membuat malu.

"Aku nggak ngupil Kak Iko, tadi aku megang hidung doang. Aku tuh nggak jorok kaya Kak Nial, ya, di mana-mana ditempelin," tukasku.

"Hm, tersangka. Ternyata dia yang jorok. Sialan lu, Nial!" Kini Kak Aksa ikut memihakku menyudutkan Kak Nial. Memang seperti itu yang seharusnya dia lakukan!

"Jangan dengerin omongan Alma, ya, guys, dia emang ngomongnya suka ... gemes," bela Kak Nial menghadap kameranya lagi, mimik mukanya meremahkanku bagai aku tengah menipu para calon-calon penontonnya. Toh, memang kenyataan kok!

"Gua lanjut ke dapur liatin ibu-ibu bentar, ya. Tolong, titip adik gua, jagain tuh entar ngupil diem-diem lagi dia," pesan Kak Nial sebelum pergi.

Entah kenapa dia bisa sejahil itu setiap kali berhadapan dengan kameranya!

"Sabar ya, Alma, Nial emang kalau bercanda gitu, dari kita semua masih kecil dia udah keterlaluan becandanya. Suka ngorbanin harga diri orang, haha," celetuk Sandra yang berusia hampir sama denganku, dia mengerti hampir seluruh permasalahan remaja yang kualami. Sontak mendengar kalimatnya barusan yang lain ikut renyah tertawa membenarkan kelakuan kakakku sendiri.

DZEMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang