“TANTE, Kak Wil ke mana? Kok nggak pernah keliatan lagi?” tanyaku memulai obrolanku di malam yang semakin gelap memekat bersama Tante Reina di ruangan tengah.
Pony dengan elusan lembut Tante Reina pun ikut terjebak kantuk di pangkuannya. Malam yang benar-benar sunyi tanpa kehadiran Kak Willi yang hanya hidup bersama temannya sehabis magrib sampai pagi lagi, juga Kak Nial yang sibuk dengan makalahnya.
Hanya ada aku dan Tante Reina saja yang tengah mengobrol santai di sana merasakan kesunyian bersama.
“Ke rumah ayahmulah. Ke mana lagi,” jawab Tante Reina.
“Oh udah pulang ternyata, kok nggak bilang-bilang dulu?”
“Harusnya pertanyaannya kebalik, kamu tuh yang kapan mau jenguk Ayah kamu juga, dia pasti udah nungguin,”
“Tunggu jadwal Kak Nial kosong dulu, Tan, Kak Nial kan sibuk banget Alma mana bisa ke sana nggak sama dia,”
“Keburu pulang lagi nanti merekanya, Al,” debatnya.
“Enggaklah, Tan, kalau mau pulang juga pasti ke sini juga kan pamitannya. Gak mungkin asal main pulang gitu aja,” jawabku juga sampai Tante Reina mau tidak mau kini ikut sepaham.
“Iya juga sih,” ucapnya.
“Oh iya, Tan, aku mau izin besok pulangnya agak magrib ya soalnya temen sekolahku ada tanding basket,”
“Kamu sebagai apanya?”
“Eeeeh, nggak sebagai apa-apanya sih,” balasku sedikit menyengir kuda.
“Gak jadi apa-apa terus ngapain mau dateng? Kamu nih aneh loh,”
“Aduh, Tan, tadi tuh udah pembukaan dan besok perdana tim sekolahku yang main. Masa iya nggak ada yang nonton, mereka pasti butuh suporter kaya aku ini loh,”
“Kamu mau dateng teriak-teriak nggak jelas? Kamu yakin nggak lupa sesuatu?” teror Tante Reina kembali mengingatkan sesuatu hal yang perlu untuk selalu kuingat, aku cepat-cepat ikut menarik napas hendak meyakinkannya.
“Enggak teriak-teriak, Tan, yang penting hadir aja gitu, nambah-nambahin,” jawabku sebagai alasan.
“Sama siapa emang perginya? Jangan bilang sama temen tahunya sama pacar,”
“Ish, nggak mungkinlah. Aku tuh perginya sama Mega sama Kak Nial—”
“Nih … nih … nih … tadi katanya nggak bisa jenguk Ayah karena Nial sibuk, kok jadi sekarang nonton pertandingannya sama Nial sih? Tante nggak seneng nih yang begini-begini,” sergahnya memojokku.
“Enggak gitu, Tante. Alma tuh udah dari dulu ngomong sama Kak Nial minta ditemenin ke pertandingan, habis itu baru deh ketemu Ayah, kan Ayah juga masih lama di sini,”
“Jadi ceritanya kamu lebih pilih pertandingan daripada Ayah kamu gitu?”
“Ya enggaklah, Tante, lagian Ayah kan kalau sore nggak di rumah masa iya kita nungguin terus di sana, mending nonton dulu kan,”
“Kan ada Willi,”
“Kan mau liat Ayah sama Mama bukan ketemu Kak Willi,” belaku tidak ingin kalah.
“Khee … terserah kamu deh, Al, Tante malas debat. Pokoknya habis nonton besok kamu susul Ayah kamu. Sekalipun kamu nggak dibesarin mereka, mereka tetap orang tua kamu, kamu nggak boleh bersikap cuek gitu,”
“Tante kenapa jadi baper sih? Perasaan aku nggak pernah cuek deh,”
“Tante cuman ngasih tahu, udah sana kamu ke kamar udah kemaleman nih, Pony udah mau dimasukin kandang juga,”
KAMU SEDANG MEMBACA
DZEMILA
Teen FictionDia selalu berdetak setiap aku rindu dengan senyumnya lagi, seperti setiap rindu yang selalu terbayar lunas mengingat dia menyatu denganku sekarang. "Hai, Wil. Long time no see, kita udah dua tahun nggak ketemu ya, dan baru sekarang bisa ngobrol lag...