7. Kisah Keluarga Para Bungsu

46 5 1
                                    

HMM ... payah banget kamu, Al, horor aja nggak kuat,” ledek Mega mengingat kembali kejadian kemarin, aku justru sudah hampir lupa malah diingatkan lagi.

“Aku bukan takut karena filmnya, tapi suaranya tuh. Telingaku sensitif nggak bisa denger yang teriak-teriak gitu,”

“Alasan!”

“Terserah, pokoknya aku tuh nggak takut hantu-hantuan, ya,” belaku.

“Terus kemarin ngumpet di belakang Kak Nial itu kenapa? Harusnya, ya, bukan Kak Nicko yang di live waktu itu yang disandang penakut, tapi kamu! Dasar!”

“Ga, kamu punya bahasan lain selain keluarga aku terus nggak? Aku tuh pusing denger kamu di mana-mana bahasannya itu-itu aja. Sekali-kali kamu tuh cerita soal keluarga kamu atau kamu bahas pelajaran kek,”

“Aku nggak ada cerita menarik soal keluarga kali, Al, kakak-kakakku mana ada yang harmonis, nggak ada yang humoris, adanya mereka egois. Beda banget sama keluarga kamu, cakep-cakep, lucu, adem pokoknya liat yang saudaraan akur gitu,”

“Kamu kali yang ngeselin makanya kakak-kakak kamu pada gedeg!”

“Al, Al, kamu nggak pernah ngerasain jadi anak bungsu kaya aku sih, makanya asal nyeblak. Asal kamu tahu, jadi bungsu emang enaknya selalu dimanja orang tua, tapi kalau udah ketemu saudara aku udah kaya bawahannya asisten rumah tangga tahu nggak! Apa-apa aku terus yang disuruh, kalau nggak nurut aku bakal diborongin Kak Rana sama Kak Fandi, apalagi kalau orang tuaku lagi ke kantor, rasanya pengen mati seketika aja aku dalam lemari,”

“Dasar lebay,” cibirku tidak mau begitu saja berempati. Sekelas Mega tak bisa kupercaya jika tidak seharmonis itu dengan saudaranya, paling hanya alibinya lagi dengan motif adu nasib yang tidak seberuntung nasib orang lain.

“Seriusan kali, Al, kapan-kapan kamu masuk deh ke tasku terus ikut ke rumah liat aku diapain aja, pasti kamu bakal ngerti sendiri liatnya,”

“Udah deh, Mega, jangan suka nambah-nambahin cerita kenapa. Orang tadi malem rumah kamu damai-damai aja tuh,”

“Itukan Mama sama Papaku udah pulang. Coba deh nanti kamu masuk rumahku siang-siang, nginap sekalian biar kamu tahu neraka rumahku tuh rasanya gimana,”

“Hiperbola lagi,”

“Dih, seriusan, Al!!!”

Aku mencebik bibirku mulai terpengaruh, gestur wajahnya begitu meyakinkan keseriusan dia berbicara kali ini. Benarkah Mega benar-benar sedang menyuarakan kisah tersembunyinya?

“Atau gini aja deh, Al, mumpung pertandingan basket udah deket gimana kalau kita ikut nonton, tapi kamu yang manggil aku di rumah. Gimana?” tawarnya. Seketika keyakinkanku runtuh kembali. Sudah kuduga niat awalnya berbicara memang hanya ke situ!

“Dasar modus, bilang aja mau ketemu Kak Nial lagi, kan?!” decitku muak.

“Aduh, Al, terserah kamu deh. Dateng sendirian juga nggak apa-apa yang penting kamu percaya dulu ke aku,” Lagi-lagi Mega mempertaruhkan kalimatnya agar aku mempercayainya. Sampai kita berdua jadi saling tarik ulur keyakinan sembari Mega menungguku memberi keputusan.

“Oke kalau gitu, kita tunggu jadwal tandingnya aja, aku bakal liat cerita kamu bener apa enggak,”

“Oke,” terima Mega seolah menantangku.

Hari yang cukup melelahkan, kali ini bahasan Mega tidak lagi berporos kepada keluarga orang lain lagi, meski terdengar kasihan atas cerita yang aku pun masih bingung benarkah yang dia katakan. Kalau iya, tega sekali saudara-saudara Mega, ini kan bukan film animasi Cinderella.

Sepulangnya kami dari sekolah di hari seperti biasanya aku akan dijemput Kak Nial, berhubung jam kuliahnya selalu pagi dan selesai di siang hari. Sejenak kami mampir ke sebuah warung nasi goreng gila dan membeli dua bungkus untuk dimakan pulang nanti, nasi goreng tersebut dijuluki nasi goreng tanpa perasaan, sekalipun semua nasi goreng jelas tak memiliki perasaan sih. Namun bedanya, nasi goreng ini dipenuhi bubuk cabai yang seolah hendak membunuh pelanggannya tanpa peduli meski sekali menyicipnya saja, tapi menantang, hihi. Itu menurut teoriku.

DZEMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang