Part 8: Awal Baru

133 22 1
                                    

6 tahun kemudian

Bisingnya suara pengunjung tak membuat perempuan yang tengah berdiri sembari memperhatikan suasana kafe terganggu sama sekali. Sebaliknya, ia bahagia. Bahkan sangat bahagia. Mimpi yang selama ini ia idam-idamkan akhirnya terwujud dengan penuh haru. Matanya memperhatikan pelanggan yang bertanya kepada pegawainya seputar kue-kue buatannya dengan penuh minat. Sesekali ia ikut menjelaskan ketika jawaban pegawainya terasa kurang meyakinkan bagi pelanggan.

Tidak seperti toko roti dan kue pada umumnya, konsep yang Yola terapkan layaknya sebuah kafe dengan banyak kursi dan meja. Sebelum menikmati roti dan kue buatan tangannya, pelanggan bisa melihat dan memilih langsung di etalase terbuka. Yola ingin memberikan kesan dekat dengan pelanggan tanpa membuat mereka segan bertanya terhadap hasil kreasi yang dibuatnya. Selain membuat perut pelanggan kenyang, Yola berkeinginan mengedukasi tentang serunya membuat roti dan kue sendiri. Maka dari itu, ia mulai berpikir untuk membuka kelas pastry bulan depan di kafenya.

Yola kembali ke dapur untuk merapikan beberapa sisa bahan yang terpakai membuat kue hari ini. Jam tutup kafe tinggal satu jam lagi, tetapi ia ingin membuat kreasi baru yang belum pernah dicobanya. Namun, gerakannya terhenti saat ada yang memanggil.

"Chef, ada yang mau ketemu," lapor Anggia, kasir di kafenya.

"Siapa?"

"Katanya, beliau Ibunya Chef."

"Nanti saya ke depan. Makasih ya, Gi."

"Ada siapa, La?" tanya Lova yang saat itu berada di depan pintu ruang operasional bersamaan dengan Yola yang juga baru keluar dari arah pantry.

"Ada tamu. Gue ke depan dulu ya, Va." Perempuan itu mengangguk, tetapi masih mengawasi langkah Yola dari belakang. Perempuan itu bahkan terlihat lebih penasaran daripada Yola.

Sampai di depan konter, Yola langsung bisa mengenali sosok perempuan yang sedang menghadap salah satu papan menu di kafenya dengan tatapan serius. Keriput di wajahnya terlihat lebih jelas dibandingkan terakhir kali mereka bertemu. Kendati demikian, raut keras di wajah itu tak berubah sama sekali.

Menyadari kehadirannya, perempuan itu berbalik menghadap ke arah Yola. Rahangnya perlahan mengeras diikuti napas yang naik turun. Matanya membulat ketika memandang Yola lebih dekat.

"Kita bicara di dalam saja!" ajak Yola lalu berbalik, tetapi gerakannya tertahan karena perempuan itu sudah mencekal tangannya.

"Kenapa? Kamu takut ketahuan ya, sama orang-orang di sini kalau sudah jadi anak durhaka?!" Yola mengerutkan keningnya, tetapi masih berusaha tenang.

Perempuan itu makin mendekati Yola lalu melayangkan tangannya, tetapi gagal karena Yola lebih dulu menangkap tangan itu. Ia bersyukur sedang tidak ada pelanggan, hanya ada Anggia di depan konter yang diam-diam menyimak. Yola sama sekali tak ingin membuat keributan di kafenya, apalagi masalah dengan Mama Mia.

"Jangan bikin aku makin marah sama Mama, ya!" Yola tetap berjalan menuju ruangan khusus staf tanpa mengindahkan kekesalan lawan bicaranya. Perempuan yang disebutnya mama itu mau tak mau akhirnya mengikuti langkah Yola. "Va, gue pinjam ruangan dulu." Lova spontan mengangguk ketika berpapasan dengannya.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau sudah pulang dari Australia? Kenapa juga Mama sampai tidak tahu kamu buka kafe di sini?" Mama Mia memberondong bahkan sebelum Yola menutup pintu dengan sempurna.

"Kenapa Mama harus tahu semua yang aku lakukan? Aku bukan Yola yang masih berumur 22 tahun, Ma. Sekarang, Mama udah enggak berhak menekanku lagi."

"Kamu lupa kalau kita masih satu keluarga? Berani-beraninya kamu bilang begitu sama Mama!"

Thursday I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang