Ramainya pengunjung toko hari ini membuat Yola kewalahan, ia bahkan melewatkan makan siangnya kerena teman satu shift-nya izin datang terlambat. Namun, rasanya temannya itu sudah keterlaluan. Apa setengah hari bisa disebut dengan izin? Kalau begitu, jangan masuk saja sekalian. Ini yang paling Yola benci ketika kerja dalam satu tim. Dirinya sudah berusaha kerja dengan baik bahkan sangat keras, sementara teman satu timnya malah kerja semaunya. Giliran melakukan kesalahan, maunya dibagi bersama.
Yola meneguk air mineral yang tersisa setengah botol sampai habis. Ia duduk di anak tangga ketika pelanggan sudah mulai sepi. Ia membuka kemasan roti lalu menggigitnya sambil mendesah. Lama-lama lambungnya perlu obat agar kuat menahan lapar. Detik berikutnya Yola mengangkat telepon ketika bunyi dering memenuhi gendang telinganya. Sebelum itu, ia melirik jam di dinding. Sudah pukul dua.
"La, maaf banget gue enggak masuk hari ini. Enggak ada yang gantiin gue jaga nyokap. Abang gue masih belum balik dari ngojol."
"Serah lo, deh. Anggap aja Best Mart perusahaan lo sendiri."
Yola sebenarnya sudah mendengar kabar dari atasannya kalau teman satu shift-nya ini tidak masuk. Seharusnya temannya juga memberitahunya lebih dulu, bukan mencari alasan lain dan baru menghubunginya pukul 2 siang seperti ini.
"Ih, lo mah gitu. Ngertiin gue kali ini, ya!"
"Kapan sih, Wid, gue enggak ngertiin keadaan lo. Minggu kemarin lo udah izin dengan alasan nemenin nenek lo check-up. Minggu kemarinnya lagi lo izin juga buat nganter kakak ipar lo kontrol kehamilan. Minggu sebelumnya lagi, lo bahkan izin karena sakit efek tamu bulanan. Terus aja lo kayak begitu sampai dinosaurus hidup lagi, Wid!"
"Lo mah jangan bercanda, La. Maafin gue, ya."
"Orang yang menyesal itu enggak bakal ngulangin kesalahannya lagi, Wid. Tapi lo apa? Tiap bulan, bahkan tiap minggu lo izin terus. Kalau gue laporin ke Pak Adam, habis lo! Bisa-bisa langsung kena SP! Kurang baik apalagi coba gue, Wid?"
"Iya, lo memang temen terbaik gue, La. Jadi, jangan dilaporin, ya, please! Besok gue bawain silver king deh, dua biji, yang gede."
"Beneran? Awas, kalau lo sampai bohong. Yang gede loh, dua biji. Eh, tapi ini gue masih marah sama loh, Wid. Cokelat harus tetep lo bawaain, tapi kemarahan gue belum reda sampai gue ketemu cowok kayak Jackson Wang."
"Dih, malah halu nih anak."
Usai menutup telepon dari Wiwid, Yola kembali berdiri di depan meja kasir karena ada pelanggan yang masuk ke toko. Siang menjelang sore begini, biasanya toko tidak teralu ramai. Namun, saat menginjak jam pulang kerja akan makin ramai. Sudah dua tahun Yola bertahan bersama partner shif dengan berbagai sifat dan sikap. Ada yang enak dijadikan rekan kerja, ada pula yang kurang menyenangkan, salah satunya Wiwid.
Wiwid memang enak dijadikan teman bicara, hanya saja sebagai partner kerjanya Yola merasa kewalahan. Di samping gadis itu sering banyak izin, ia juga agak ceroboh. Namun, sekarang Yola tidak ingin terlalu memikirkan perilaku seseorang kecuali hal berhubungan dengan kemajuan kariernya. Lagi pula, ia tidak akan pernah bisa mengubah sifat siapapun di dunia ini, karena tentu saja yang bisa mengubah sifatnya adalah diri mereka sendiri.
Kepulangan Yola ke rumah nyatanya sudah sangat ditunggu-tunggu keluarganya. Bukan. Bukan karena mereka begitu menghkawatirkan sang anak, melainkan karena urusan perut. Menyedihkan memang, tetapi Yola harus tetap kuat menjalani hidup demi mimpinya yang ingin ia wujudkan suatu hari nanti.
Yola memberi salam usai membuka pintu utama,\ lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya. Kebiasaaan yang satu ini tidak pernah ia lupakan ketika masuk ke dalam rumah, karena hal itu merupakan pesan dari sang papa.
"Lama banget sih, pulangnya? Adek kamu udah kelaparan tuh!" Yola melirik Yayu yang sedang duduk manis di depan televisi sedang memandang ke arahnya dengan tatapan semringah.
"Maaf. Tadi antre ngisi bensin dulu." Penjelasannya pada Mama Mia seolah angin lalu, karena perempuan itu terbiasa mengabaikan alasannya.
"Mana ayamnya?" Yola menyerahkan bungkusan ayam goreng untuk Yayu kepada Mama Mia.
Kendati dompet sudah menipis, ia tidak mampu menolak permintaan Mama Mia untuk membelikan makanan kesukaan Yayu. Tidak tanggung-tanggung, ayam goreng ternama yang sedang happening. Yola mendesah. Gajian masih seminggu lagi, seharusnya ia berhemat. Namun, ia makin terbiasa dengan permintaan Mama Mia meskipun terbebani.
Andai papanya masih ada, Yola tidak akan sesengsara ini hidup dengan dua perempuan asing yang mengaku sebagai keluarga ketika butuh bantuan. Sekarang saja, ia merelakan kuliahnya dan langsung bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sekembalinya Yola ke ruang makan usai mandi dan berganti baju, ia hanya bisa menatap bungkusan kosong dengan hati perih. Bungkusan yang dibeli Yola sudah habis tanpa ada ayam goreng di dalamnya, padahal ia sudah membeli porsi lebih kalau saja mereka mau menambah.
"Ini enggak ada sisanya sama sekali?, ya Aku kan, belum makan juga." Yola memandang kedua perempuan yang kini sedang duduk manis di depan televisi sembari minum yogurts yang tadi ia beli di mini market.
"Lho, kirain, kamu sudah makan. Makanya kalau kepengen tuh bilang sisain. Mana Mama tahu kalau kamu juga belum makan." Yola lelah ketika Mama Mia terus memberinya alasan, meskipun sudah tahu itu merupakan kesalahan perempuan itu.
"Masa aku harus bilang hal kayak begitu sih, Ma? Harusnya kalian yang peka dong. Tanpa aku bilang pun seharusnya kalian bisa perhatian sama orang yang baru pulang kerja!" tanpa sadar, nada suara Yola meninggi dan itu membuat kedua perempuan di sana memandang tajam ke arahnya, terutama Yayu.
"Eh, lo enggak perlu bentak-bentak Mama gue kayak begitu, ya. Cuma gara-gara ayam doang. Beli lagi aja sih, repot banget!" Yola mendesah berat. Agaknya, hari ini ia terlalu banyak mendesah. Hal yang sebenarnya ia tidak sukai. Namun, hari ini benar-benar seperti benang yang kusut hingga membuat kepala dan hatinya ikut pening.
Yola kembali ke dalam kamarnya dan mengambil ransel demi mencari keberadaan ponselnya. Namun, sebuah kotak mengalihkan perhatiannya sesaat. Ia buka kotak itu dan masih ada kue bolu pisang dan risol di sana. Sebelum pulang tadi, Yola memang sempat dibagi snack box oleh toko sebelah yang pemiliknya sedang berulang tahun.
"Memang ya, rezeki anak solehah itu enggak bakal ke mana. Lumayan deh, buat ganjel perut sampai besok." Yola membuka gorden kamarnya lalu membuka jendela sedikit agar angin malam masuk dan menerpa wajahnya. Sembari menggigit risol di tangannya, Yola memandang ke luar jendela. "Katanya, cobaan tuh hanya bisa dipikul sesuai dengan kemampuan bahu orang yang memikulnya. Gue juga pasti bisa, kan?"
Ingatannya terbang pada momen di mana papanya masih ada. Yola tidak pernah mencemaskan tentang biaya hidupnya. Apa pun yang dibutuhkan, Yola tingggal mengatakannya saja kepada papanya. Maka, papanya akan dengan senang hati mengabulkan putri kesayangannya. Namun, setelah merasakan bagaimana sensasi mencari uang sendiri, agaknya Yola menyesal sudah meminta banyak hal.
19 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Thursday I'm In Love
Romance[On Going] Silakan follow untuk membaca! Tidak seperti kebanyakan karyawan yang memiliki waktu istirahat di akhir pekan, Yola hanya bisa tidur menghabiskan jatah liburnya di hari Kamis. Dalam satu minggu, ia hanya punya jatah libur satu hari. Bekerj...