BAB 12 - Persetujuan

18.3K 155 0
                                    

Lelaki perkasa berbadan kekar itu terus menggoyangkan pinggulnya sekuat tenaga. Wajah putihnya berubah memerah. Suara napasnya berpacu. Cucuran peluh mengalir pelan di wajahnya yang tampan. Dia sangat kelelahan, tapi dia juga sangat menikmatinya. Vazo terus mengguncang maju mundur dengan gerakan yang berirama. Sesekali dia bergerak lambat hingga batangnya keluar dari lubang kenikmatan Amanda. Dia bergerak masuk dan keluar berulang-ulang hingga seluruh batang itu benar-benar keluar, lalu masuk kembali dan terbenam sepenuhnya. Lalu kemudian Vazo mulai menghantam dengan keras. Bergerak sangat cepat dengan raut wajah yang menegas.

Akan tetapi ...

Amanda hanya tenang tak bereaksi sama sekali. Wanita itu jelas tidak menikmati permainan yang disuguhkan oleh sang kekasih. Tak ada perlawanan dari Amanda sama sekali. Jangankan perlawanan, mendesah pun sedikit pun tidak ia lakukan. Matanya bahkan tidak menatap pada Vazo yang sedang menggagahinya itu.

Akhirnya gerakan Vazo melambat, lalu berhenti dengan batang miliknya yang masih terbenam di kemaluan Amanda.

"Kenapa?" tanya Vazo lirih.

Amanda tidak menjawab.

"Manda!" panggil Vazo lagi.

Hening.

Sunyi.

Tetap tidak ada reaksi apa-apa. Amanda yang masih mengenakan pakaian bagian atasnya itu masih termenung. Amanda masih mengenakan baju kaos warna biru yang sedikit tersingkap menampilkan sedikit bagian payudaranya. Awalnya Vazo ingin melepas semua pakaian Amanda agar bisa leluasa melihat keelokan tubuh kekasihnya itu. Tubuh berkulit putih bagaikan porselen yang selalu bisa membius mata Vazo. Bagian yang paling disukai oleh Vazo adalah puting susu Amanda yang berwarna cokelat muda. Terasa manis ketika dia menyesapnya. Terasa kenyal dan enak ketika dia meremasnya.

"AMANDA ...!!!" kali ini Vazo memekik lebih keras.

Amanda tersadar dari lamunannya dan akhirnya menatap Vazo.

"Ada apa?" tanya Vazo gusar.

Amanda menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Ayo teruskan!"

Vazo sudah tidak bergairah. Semua hasratnya surut. Batangnya mulai layu perlahan bersamaan dengan hilangnya mood lelaki itu untuk bercinta. Akhirnya Vazo beranjak dari tubuh Amanda. Dia berbaring di samping sambil menutup wajahnya dengan pergelangan tangan. Helaan napasnya masih sesak. Kepalanya kini mulai terasa pusing karena Vazo berhenti disaat ia belum mencapai puncak kenikmatan.

Amanda meneguk ludah. Ia sadar bahwa sang kekasih mulai merajuk. Perlahan Amanda bergeser, lalu merebahkan kepalanya di atas dada Vazo yang sedikit berbulu halus.

"Maafkan aku," ucap Amanda lirih.

Tidak ada respon dari Vazo.

"Kamu marah, ya?" tanya Amanda lagi.

Akhirnya Vazo menyingkirkan tangan yang menutup muka. "Sampai kapan kamu akan seperti ini? Aku suda beribu kali mengingatkan kamu ... mencoba menasehati kamu ... memangnya apa masalahnya jika mama kamumenikah lagi? dia juga berhak untuk bahagia. Kamu sudah keterlaluan, Manda. Kamu tidak boleh egois."

Amanda merengut. "Aku juga sudah berusaha untuk menerima semuanya dengan lapang dada. Tapi ... aku masih belum bisa rela kalau mama menikah lagi."

Vazo meniupkan napas gusar. "Sudahlah. Aku capek ngomong sama kamu. Bagaimana pun juga ... kali ini aku tidak bisa membenarkan pemikiran kamu. Coba bayangkan saja ... kamu sendiri bahkan harus memuaskan hasrat seksual kamu sendiri bukan? begitu juga dengan mama kamu. Kamu mendambakan kasih sayang dan kisah romansa cinta yang manis. Mama kamu juga demikian, Manda!"

Amanda terdiam.

"Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan?" lirih Amanda dengan bibir mencebik. Dia hampir menangis sekarang.

Vazo berkata lagi. "Kamu harus berbaikan dengan mama kamu. Kamu harus mendukung dia. Bagaimana pun juga darah itu lebih kental dari pada air. Sekarang aku tanya ... apa kamu punya saudara lain yang peduli selain mama kamu?"

Amanda terdiam makin dalam. Yah, selama ini dia hanya memiliki sang mama dalam hidupnya. Seorang wanita yang sudah mati-matian berjuang untuk Amanda. Agar Amanda bisa hidup layak seperti anak-anak yang lain. Agar Amanda bisa mengenyam pendidikan tanpa ada kekhawatiran sama sekali. Amanda menyadari hal itu. Rasa bersalah mulai menyelinap masuk ke dalam hatinya.

"Tapi ...." Amanda tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi apalagi?" tanya Vazo.

"Aku tidak tahu bagaimana harus memperbaiki semuanya," jelas Amanda.

Vazo bangun dari tidurnya. Dia menjangkau pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya kembali.

"Kamu hanya perlu mendatangi mama kamu," ucap Vazo kemudian.

Amanda ikut bangun. Dia duduk di tepi ranjang dengan rambut yang kusut.

Amanda ingin melakukannya. Dia bisa saja kembali pulang ke rumah dan menyatakan persetujuannya atas pernikahan itu. Tapi di sisi lain Amanda juga dikuasai oleh rasa gengsi dan keras kepala.

Tiba-tiba saja ponsel Amanda yang terletak di atas meja nakas berdering pelan. Vazo yang kebetulan berdiri di dekat meja itu langsung mengambilnya. Keningnya mengerut ketika melihat notifikasi. Setelah itu dia berbalik menatap Amanda.

"Pesan?" tanya Amanda?"

Vazo mengangguk.

"Dari siapa?"

"Mama kamu."

Amanda menerima ponsel itu dan segera membuka pesan itu.

'Malam ini Jack ingin mengajak kamu untuk makan malam bersama sebagai agenda perkenalan. Tapi kamu boleh tidak datang.'

Amanda tertegun membaca pesan itu. Vazo yang kini berdiri di belakangnya juga sudah membaca isi pesan dari Adelia tersebut.

"B-bagaimana ini?" tanya Amanda dengan wajah ragu.

Vazo tersenyum. "Inilah kesempatan bagi kamu untuk memperbaiki semuanya. Kamu harus datang!"

"Apa kamu mau datang untuk menemani aku?" pinta Amanda sambil meraih tangan Vazo.

Lelaki itu tersenyum, lalu menggeleng. "Tentu saja kehadiran aku akan mengganggu. Belum saatnya. Status aku masih sebagai orang luar. Aku akan mengantar kamu ke lokasinya, tapi aku tidak akan ikut masuk ke dalam."

Amanda masih diliputi kecemasan.

Vazo menunduk. lalu mengelus pipi Amanda dengan mesra.

"Percayalah ... semua akan baik-baik saja. Mama kamu masih menginginkan kehadiran kamu. Buktinya dia mengirimkan pesan itu. Iya kan?"

Amanda mengangguk. "Baiklah ... kalau begitu aku akan pergi ke sana."

"Bagus! kamu sudah mengambil keputusan yang tepat."

Amanda bangun berdiri. "Kalau begitu aku mandi dan bersiap-siap dulu."

"Apa perlu aku bantu?" tanya Vazo dengan senyum nakal.

Amanda yang sudah berjalan ke kamar mandi itu pun berbalik dan tersenyum. "Sepertinya tidak perlu.

Karena mandi bersama kamu pasti akan membutuhkan waktu yang lebih lama."

Vazo mendekat. "Tapi aku belum keluar... aku akan melakukannya dengan cepat."

Amanda menggigit bibir. "Kalau begitu ayo! sedikit bersenang-senang di bawah pancuran air shower sepertinya akan menyenangkan."

Vazo menyeringai. Dia kembali melepaskan pakaiannya yang sudah terpasang hingga bertelanjang bulat dan bergegas masuk ke kamar mandi menyusul Amanda yang sudah masuk ke sana.

Bersambung...

Bercinta Dengan Papa (Daddy Jack) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang