9. Yang Terbaik (1)

2.5K 371 78
                                    

.

.

.

.

Hinata duduk dengan gelisah di kursi ruang tamu rumah Shikamaru. Hinata sudah sering ke sini tapi karena biasanya hanya untuk sekedar mampir atau bertemu Shikamaru ketika Yoshino tidak ada, kali ini suasanya jadi terasa berbeda. Hinata berkali-kali menarik dan menghembuskan napasnya agar menghilangkan kegugupan yang menyelimuti batinnya.

Di sebrang meja, Shikamaru menumpukan dagu tegasnya pada telapak tangan kiri sambil melihat tingkah gugup Hinata yang menggemaskan. Senyum kecil tak juga hilang dari wajah tampannya itu sedari tadi.

Yoshino sibuk di dapur, berkali-kali mondar-mandir menyediakan makanan ringan dan minuman untuk Hinata. Padahal Hinata sudah berencana ingin membantu, tapi Yoshino melarangnya dan mengatakan jika tamu istimewa tidak perlu melakukan apapun.

Benar, beberapa saat yang lalu Shikamaru yang sedang menggendong Hinata tidak sengaja bertemu ibunya di jalan dan akhirnya memutuskan membawa Hinata ke rumahnya karena Yoshino yang meminta.

Dalam perjalanan ke rumah Shikamaru, Hinata mati-matian menahan malu. Pasalnya, Shikamaru tidak membiarkan Hinata turun dari gendongannya. Padahal mereka berjalan bersisian dengan ibunya.

Bukankah itu sangat kurang ajar?

Namun, Yoshino juga tidak keberatan apalagi memang kaki Hinata telanjang.
Wanita Nara itu malah terlihat begitu bersemangat dan antusias dalam perjalanan. Berkali-kali melirik putra dan kekasihnya di sisinya, kemudian terkikik geli dengan wajah merona.

Yoshino akhirnya duduk di sebelah Hinata setelah meletakan makanan ringan terakhir yang ia bawa. Matanya begitu bercahaya menatap Hinata penuh damba.

"Hinata-chan, bagaimana bisa kau berkencan dengan Shikamaru?" Ucapnya sangat lembut.

"Tentu saja karena aku memintanya." Shikamaru yang menjawab.

Jika dalam kondisi biasa, dia pasti sudah kena tampar Yoshino yang tidak suka jika ucapannya disela. Tapi karena ada calon menantu, Yoshino memilih mengabaikan putranya.

Hinata hanya tersenyum malu. Yoshino menatap Hinata terlampau intens, dengan wajah yang berbinar.

Dengan hati-hati Yoshino menggenggam kedua telapak tangan Hinata. "Hinata-chan, Shikamaru memang tidak terlalu tampan, tapi aku pastikan dia adalah pria hebat dan baik. Kau tidak akan menyesal berkencan dengannya."

"Kaa-san!" Shikamaru menggeram. Ibunya ini sebenarnya berniat memuji atau menghinanya?

Yoshino kembali mengabaikan Shikamaru. Oh ayolah, jika Hinata sedikit berusaha lagi, dia akan dengan mudah mendapat hati pria mana saja yang lebih baik dari putranya. Yoshino hanya realistis.

Cuma memang harus Yoshino akui jika putranya berpikir lebih unggul dari yang lain. Jika bukan karena kecerdikan yang diwarisi klan Nara, tidak mungkin Hinata yang bahkan Yoshino tahu menyukai Naruto bisa berada di ruang tamu rumahnya sebagai calon menantu.

Mau mengandalkan wajah tampan? Banyak yang lebih unggul. Jabatan? Hinata bahkan dari kalangan bangsawan. Uang? Klan Nara memang memiliki hutan dengan rusa-rusa dan taman obat mahal, tapi aset klan Hyuuga lebih dari apa yang Nara punya.

Intinya Hinata sudah punya segalanya.

"M-menurutku, Shika-kun tampan." Gumaman rendah nan malu-malu itu membuat Yoshino terpekik.

"Astaga!" Genggaman tangannya pada Hinata terlepas untuk menutupi mulutnya.

Yoshino melirik putranya yang sudah tersenyum lebar seperti orang bodoh. Wanita itu juga jadi ikut tersenyum, rasanya ingin tertawa terbahak-bahak malah. Yoshino selalu bangga pada Shikamaru tapi kali ini seribu kali lipat dia merasakan bangga pada putranya.

Hide and Seek ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang