Jeongwoo menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Menatap ke arah langit kamarnya. Meskipun ayahnya tidak pernah menganggap keberadaannya, diberikan tempat singgah yang nyaman dan tidak pengap saja sudah membuat Jeongwoo bersyukur. Sesederhana itu, ya?
Perlahan, Jeongwoo memejamkan matanya. Mencoba menjelajahi alam mimpinya. Entah indah, atau buruk nantinya, asal lelahnya sirna dalam sekejap.
Pemuda manis itu tersenyum. Tangannya mencoba meraih kupu-kupu yang terbang di sekitarnya. Matanya kian menyipit kala tawanya lepas begitu saja.
Tanpa ia sadari, seorang lelaki manis berpakaian serba putih mulai menghampirinya. Melihat bagaimana senyum si manis merekah tanpa terlihat adanya beban atau luka yang melekat di rongga dada.
Melihat hal itu, Asahi hanya bisa tersenyum. Walau dalam hati ia merasa senang melihat senyum putra manisnya terbit dengan sempurna.
"Je?" Asahi memanggilnya dengan lembut, berharap sang putra menoleh ke arahnya.
Dan ya, berhasil. Atensi Jeongwoo teralihkan. Anak itu mengerjapkan mata beberapa kali, bahkan mengusaknya guna memastikan apakah penglihatannya bermasalah atau tidak.
"Ma.." sekali lagi, Jeongwoo bingung, kenapa suaranya kembali lagi? Bukannya ia bisu? Pita suaranya bermasalah akibat kecelakaan itu? Tapi kenapa ia bisa memanggil mamanya?
Asahi tersenyum, dan merentangkan tangan ke arah Jeongwoo, yang tentu saja disambut baik oleh si manis. Ia segera menubrukan tubuhnya ke dalam rengkuhan sang ibu.
"Mama.. Mama Aca.."
Asahi terkekeh kecil. Walau sebenarnya ia sedikit merasa sakit melihat tubuh putranya yang lebih kurus dari sebelumnya. Ia mengecup pucuk kepala Jeongwoo berulang kali. Rasa rindu pada sang anak perlahan mulai terbayarkan. Memeluk Jeongwoo dengan erat, bahkan mengecupi pipi si manis membuatnya enggan berpisah dengan Jeongwoo.
"Mama kangen banget sama Jeje.."
Jeongwoo tersenyum, dan kian mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin berpisah dengan sang ibu.
"Jeje juga. Jeje kangen Mama Aca.."
Tangan Asahi mengusap punggung Jeongwoo. "Anak Mama udah besar banget ya sekarang. Makin gemes, makin manis, makin tampan juga. Bikin Mama mau meluk Jeje seharian. Boleh, kan?"
Jeongwoo menganggukan kepalanya dengan semangat. "Boleh! Jeje mau dipeluk Mama.."
Keduanya saling melepas rindu. Jeongwoo yang nyaman dalam dekapan sang ibu, dan Asahi yang berulang kali mengecup pucuk kepala sang putra seraya menggumamkan beribu maaf dalam hatinya tanpa Jeongwoo tau.
"Je?" si manis meregangkan sedikit pelukannya, menatap netra Asahi dengan binar bahagia.
"Papa sama Hwanie perlakuin Jeje dengan baik, kan?" Asahi melontarkan pertanyaan itu, walau tanpa dijawab pun ia sudah tau jawabannya.
Binar mata serigala itu meredup, senyumnya berubah lirih. "Iya, Ma. Papa selalu sayang sama Jeje, Hwanie juga," untuk kali ini biarlah Jeongwoo berbohong menutupi semuanya. Toh ucapan adalah doa, bukan? Dan dalam jawabannya tadi terselip doa agar kedua orang tersayangnya itu menyayanginya lagi.
Asahi tersenyum, lantas mengusap lembut surai Jeongwoo. Putranya sudah sebesar ini ternyata. Bahkan rela menutupi keburukan ayah dan saudaranya. Entah sudah berapa banyak luka yang Jaehyuk torehkan, pikir Asahi.
"Kalau suatu saat nanti Mama ajak Jeje, Jeje mau?" tanyanya lagi. Bukan, bukan karena Asahi ingin Jeongwoo lenyap dari dunia secepat itu. Ia hanya bertanya.
"Mau. Tapi Ma, sebelum Jeje pergi nanti, boleh ngga Jeje pastiin Papa Jae sama Hwanie bahagia? Jeje cuma mau mereka bahagia kok, Ma," yang semulanya menatap Asahi, kini justru tertunduk dan memainkan jarinya. "Walau tanpa Jeje, Jeje rela. Setidaknya mereka bahagia. Ruto juga ya, Ma. Pacarnya Jeje itu harus bahagia. Boleh kan, Ma?"
Sungguh, rasanya Asahi ingin menangis saja. Sepertinya Tuhan menciptakan Jeongwoo disaat sedang bahagia. Hati putranya sangat bersih, seolah tidak ada kejahatan dan keburukan di dalamnya. Namun mengapa hidup putranya sesulit ini? Bolehkah Asahi mengajaknya sekarang juga?
Air mata Asahi menetes begitu saja. Jeongwoo melihatnya, lantas mengusap jejak air mata tersebut. "Ma, jangan nangis ya. Jeje gapapa. Boleh kan Mama kabulin permintaan Jeje itu? Masih lama kan, Ma? Masih ada waktu untuk Jeje bahagiain mereka?"
Asahi kembali merengkuh tubuh Jeongwoo. "Jeje, malaikatnya Mama Asa, terima kasih sudah jadi anak yang sangat baik. Kalau Jeje capek, jangan sungkan bilang ke Mama ya, nak. Mama siap jemput Jeje kapanpun."
Jeongwoo tersenyum dan membalas pelukan Asahi. "Mama, makasih ya udah lahirin Jeje sebagai anak Mama. Jeje sayang Mama. Jangan lupa jemput Jeje nanti, ya.."
Jeongwoo mengerjapkan matanya. Ia menoleh pada sekelilingnya. Alisnya bertaut. Ini di kamarnya? Lalu, dimana Mamanya? Kenapa semuanya terasa sangat nyata?
Ia kembali menarik selimutnya, memeluk guling, memejamkan mata dan membiarkan air matanya mengalir deras di sepinya malam.
"Ma.. Makasih udah datang ke mimpi Jeje. Pelukan Mama masih hangat, Jeje suka. Mama jangan bosan dengan keluhan Jeje, ya. Jeje butuh Mama, Jeje mau sama Mama.. Mama, jangan lupa jemput Jeje nanti. Jeje sayang Mama.."
Perlahan, si manis kembali terlelap tanpa mengetahui bahwa Asahi masih disana. Memandangnya sendu. Melihat bagaimana putranya menangis sendiri tanpa ada yang memeluk, menambah rasa sakit dalam relungnya.
"Malaikat Mama, tunggu Mama ya, nak.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
Teen FictionYoon Jeongwoo, si manis yang selalu mempertanyakan bagaimana indahnya rasa kasih sayang seorang ayah