Suara tawa terdengar menggelegar diantara kosongnya gudang sekolah. Mereka menertawakan satu objek yang sama, yakni seorang pemuda berkulit tan dengan marga Yoon sebagai awalan namanya.
Yoon Jeongwoo, lelaki berparas manis itu hanya terdiam menerima segala pukulan dari sang adik juga sang kekasih, Yoon Junghwan dan Kim Haruto. Ia tidak bisa menangis di depan mereka, ia harus kuat, bukan?
Entah sudah berapa banyak pukulan yang diterimanya sore ini. Iya, sepulang sekolah, Haruto dan Junghwan menariknya ke gudang. Jeonggwoo sudah tahu, apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Dan benar dugaannya, ia hanya dijadikan bahan pelampiasan emosi oleh kedua orang tersayangnya. Miris sekali, kan?
Melihat tubuh Jeongwoo yang sudah meringkuk di atas dinginnya lantai gudang, membuat Junghwan geram. Ia menarik paksa kerah seragam Jeongwoo, lantas mendorong kuat tubuh sang kakak ke arah tumpukan kardus di sudut ruangan, membuat tubuh ringkih milik Jeongwoo tertimpa oleh banyaknya tumpukan kardus berisikan buku sekolah.
Jeongwoo menutup matanya, menahan rasa sakit dari hantaman buku. Ingin meringis saja, rasanya sudah habis seluruh tenaganya.
Junghwan tertawa melihatnya. Ia beranjak menghampiri sang kakak.
"Gimana rasanya? Sakit? Well, ngga sesakit waktu gue kehilangan Mama. Nikmatin rasa sakit lo. Setelah ini, lo bakal dapat yang lebih parah."
Junghwan menepuk pipi Jeongwoo beberapa kali, dan meninggalkan Jeongwoo bersama Haruto disana.
Haruto hanya melihat betapa susah payahnya Jeongwoo bangkit dengan sekujur tubuh penuh luka memar.
Pemuda tampan itu mendekat ke arah Jeongwoo. "Lebih baik lo mati, Yoon Jeongwoo. Hidup lo cuma bawa sial disini."
Tidak ada bantuan, bahkan sekedar uluran tangan untuk membantu Jeongwoo bangkit dari posisinya. Bahkan seolah tidak mengenal, Haruto pergi begitu saja meninggalkan Jeongwoo.
Ingin sekali Jeongwoo berteriak menahan Haruto dikala kekasihnya itu memutar knop pintu, dan menguncinya dari luar.
Jeongwoo lelah, sungguh. Ia menjatuhkan tubuhnya di dekat dinding. Menyandarkan tubuh lelahnya disana. Membiarkan seluruh air matanya menurun, membuat aliran sungai kecil di pipinya.
"Ma.. Capek.. Mau ikut Mama.."
Setelah terkunci di sekolah hingga waktu menunjukan pukul 8 malam, akhirnya Jeongwoo berhasil sampai ke rumahnya. Walau harus susah payah, mencari bus namun tidak ada satu pun yang lewat selepas pukul 7 malam. Mau tak mau, ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan pulang. Sedikit sakit mengingat pukulan Junghwan pada tubuhnya tidaklah main-main.
Kakinya melangkah gontai memasuki rumah yang terlihat gelap. Namun belum sempat ia menaiki tangga, satu persatu lampu mulai menyala, menampilkan Jaehyuk dengan tatapan penuh amarah.
Jeongwoo seketika menunduk. Ia tidak pernah setakut ini dengan Jaehyuk, sungguh. Tapi sepertinya, tidak ada kata ampun dari Jaehyuk untuk Jeongwoo malam ini. Terlihat dari netranya, juga sebuah cambuk yang berada di tangan sang ayah.
"Untuk apa kau pulang? Bukankah lebih baik tidur di luar, atau tidak usah pulang sekalian?" ujar Jaehyuk dengan nada dingin.
Jaehyuk melangkah mendekat, membuat Jeongwoo semakin meremat erat tali tas nya.
"Kau bertengkar di sekolah?"
Jeongwoo menggeleng ribut.
Jaehyuk tertawa remeh. "Kau bahkan memukuli adikmu sendiri, Yoon Jeongwoo?"
Jeongwoo sedikit terkejut mendengar ucapan Jaehyuk. Apa katanya? Memukuli adiknya? Apa Junghwan mengatakan hal sebaliknya? Kenapa Junghwan setega ini padanya?
"Kau mulai berani berbohong," Jaehyuk memainkan cambuk di tangannya. "Buka bajumu."
Jeongwoo menggeleng. Tidak, ia tidak mau. Sudah cukup seluruh rasa sakit ini menghantam tubuhnya. Ia tidak mau mendapat luka baru lagi.
Jaehyuk menggeram kesal melihat Jeongwoo tidak mau menuruti ucapannya. Ia melemparkan cambuknya begitu saja, lantas memukul telak pipi kiri Jeongwoo hingga darah segar mulai terlihat dari sudut bibir si manis.
Jaehyuk menghela napas kala mengingat ucapan Junghwan beberapa saat lalu. Dimana, ia berkata bahwa Jeongwoo memukulnya beberapa kali, menyebabkan lebam di beberapa bagian wajahnya. Jelas Jaehyuk murka. Mengingatnya, membuat ia kembali melayangkan beberapa pukulan pada Jeongwoo, seolah lupa jika Jeongwoo juga anaknya, putranya bersama Hamada Asahi.
Entah sudah berapa banyak pukulan Jeongwoo terima dari Jaehyuk. Bahkan tubuhnya sudah terkulai lemas di atas marmer rumah milik Jaehyuk.
Jaehyuk tersenyum puas melihat hasil karyanya. "Pergilah, Yoon Jeongwoo. Pergi sejauh mungkin. Jangan pernah kembali, sebab aku muak melihat wajah sialanmu."
Jaehyuk berlalu, meninggalkan Jeongwoo di ambang kesadarannya. Jeongwoo menghela napas lelah. Ia memejamkan matanya, berharap sang ibu mau menjemputnya sekarang juga.
Namun sebelum menggelap, telinganya berdengung mendengar seseorang menyebut namanya. Berharap bahwa itu adalah Jaehyuk, namun harapannya pupus ketika telinganya kian jelas mendengar suara sosok itu.
"Jeongwoo!" sebuah tangan besar berusaha mengembalikan kesadarannya yang kian menghilang.
"Jeongwoo, jangan tidur dulu, nak." sosok itu bergegas membawa Jeongwoo menuju mobilnya, melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Dibalik keheningan itu, ada lelaki yang memanjatkan doa untuk Jeongwoo. Dan Jeongwoo yang tersenyum tipis dengan netra terpejam, seolah tidak lagi sanggup walau hanya sekedar membuka matanya.
"Asahi, tolong jangan bawa Jeongwoo. Dia belum bahagia, Sa.."
"Ayah Jii.. Terima kasih.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
Teen FictionYoon Jeongwoo, si manis yang selalu mempertanyakan bagaimana indahnya rasa kasih sayang seorang ayah