Berbeda dengan keadaan Jaehyuk dan Junghwan diluar sana, keadaan Jeongwoo sangat menyedihkan. Sejak tadi, rasa mual itu datang memaksanya untuk mengeluarkan seluruh cairan perutnya. Bukan kali pertama Jeongwoo mengalami hal ini. Mungkin sudah terlampau sering, hingga Jeongwoo lupa sudah ke berapa kali ia seperti ini.
Tubuhnya bersandar pada westafel. Netranya menatap lurus ke arah cermin di depannya.
Menyeramkan.
Satu kata itu muncul dalam benak Jeongwoo sesaat setelah ia melihat keadaannya. Wajah pucat, tanpa rona sedikitpun, tubuh yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya pun menjadikan sebuah kurva tipis muncul di bibir Jeongwoo.
"Huft.. Sakit.."
Belum ada beberapa menit setelah muntahannya selesai, ia kembali menunduk kala merasakan sebuah cairan menetes dari dalam hidungnya.
Darah.
Lagi dan lagi Jeongwoo tersenyum miris. Ia tidak terkejut, karena memang bukan hal yang pertama lagi baginya.
Ia segera membasuh darahnya, juga membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar dari biasanya. Tak lupa pula mengusapnya dengan handuk kecil. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi, berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara dentingan sendok yang beradu entah dengan apa.
Ia berdiri tak jauh di balik punggung tegap Jaehyuk. Ia memerhatikan sang ayah. Netranya menatap sendu pada pria itu. Relungnya seolah meronta untuk meminta dekapan barang sedetik saja. Ingin sekali ia merasakan satu dekapan hangat dari sosok yang selalu ia panggil dengan sebutan Papa, sosok yang selama ini menjadi panutannya dalam menjalani keseharian. Selama ini, Jeongwoo sudah kehilangan Asahi selaku ibunya. Ia tidak ingin kehilangan lagi setelah ini. Biarlah Jaehyuk membencinya, biarlah semua ucapan kasar Jaehyuk selalu mengarah padanya. Asal ia masih diperbolehkan untuk tetap tinggal disini dan melihat wajah sang ayah, juga dekat dengan adiknya, Yoon Junghwan. Setidaknya, Jeongwoo berharap suatu saat nanti ia mendapat setidaknya satu pelukan dari Jaehyuk dan Junghwan.
Lamunan Jeongwoo buyar ketika Jaehyuk meletakan sendoknya. Jeongwoo merasa seperti ada hantaman keras mengenai dirinya ketika Jaehyuk sedikit bermonolog.
"Jeongwoo, kamu selalu menyusahkan. Kapan kamu akan pergi? Saya benar-benar muak denganmu."
Ia menundukan kepalanya. Tersenyum miris penuh kepedihan di dalamnya. Tenyata, dirinya tidak lah sepenting itu disini. Eksistensinya bahkan tidak pernah diharapkan. Dan kepergiannya lah yang selalu ditunggu oleh sang ayah.
Tidak ingin mengganggu dan membuat Jaehyuk muak akan kehadirannya, Jeongwoo memilih untuk kembali ke kamar. Menutup rapat pintu kamarnya, seolah tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam ruangannya.
Ia kembali menidurkan tubuhnya di atas kasur yang tidak terlalu besar itu. Netranya menatap ke arah langit-langit kamar. Pikirannya masih saja terfokus pada ucapan Jaehyuk tadi. Ia jadi berpikir, jika ia ikut dengan Asahi, apa Jaehyuk akan bahagia setelah ini?
Jeongwoo jadi terkekeh sendiri. "Pasti bahagia. Papa ngga pernah mau lihat wajahku juga. Ngga ada gunanya aku disini."
Jika saja ia boleh meminta pada Tuhan, permintaannya tidaklah banyak. Ia hanya berharap agar Tuhan mau menukar nyawanya dengan Asahi kala itu. Seharusnya Asahi tidak memeluknya, tidak memberikan kehangatan padanya. Seharusnya, ibunya itu membiarkannya mati lebih dulu. Jika sudah begini, Jeongwoo tidak ingin apapun lagi. Biarlah takdir berjalan dengan semestinya.
Tiba-tiba ia jadi teringat tentang amplop yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Ia bangkit, lantas mengambil amplop itu dari dalam laci nakasnya. Membukanya perlahan, melihat rentetan kata demi kata yang tertera disana.
Ia menghela napas ketika membaca tulisan Acute Lymphoblastic Leukemia. Senyum miris kembali terulas di bibir Jeongwoo. Jika dipikir-pikir kembali, sepertinya tidak ada kata bahagia dalam hidup Jeongwoo, ya? Bisakah di permintaan selanjutnya, Jeongwoo memohon untuk diberikan bahagia? Walau sedetik, tidak apa.
"Mama Aca.. Sebentar lagi kita ketemu. Dokter bilang, stadiumnya pasti bakalan naik. Dan setelah itu, kita akan hidup berdua ya, Ma.."
Tangannya bergerak memasukan kembali surat tersebut. Diagnosis dari dokter membuatnya merasa takut. Bukan, bukan takut untuk mati. Tapi ia takut, jika disaat ia pergi nanti, Jaehyuk dan Junghwan masih belum memaafkannya. Namun, apakah Jeongwoo masih pantas dimaafkan oleh mereka? Bahkan sekarang saja, rasanya Jeongwoo ingin menyerah. Sungguh ia tidak sanggup.
Jika dulu ia memiliki Haruto sebagai tempatnya singgah, akan tetapi semuanya berubah sekarang. Haruto bahkan tidak ingin meliriknya sedikitpun. Begitu pula dengan semua sahabatnya. Dulu, Jeongwoo selalu berada di sisi sahabatnya, tapi kini, mereka justru meninggalkan Jeongwoo satu per satu.
Si sulung Yoon itu menghela napasnya. Apa sebegitu bencinya ya Tuhan padanya? Sampai-sampai, tidak ada kata bahagia dalam kamusnya? Dan apa sebegitu bencinya Tuhan pada Jeongwoo, karena tak jua memberikan Jeongwoo kesempatan untuk pergi bersama Asahi?
Pemuda manis itu memilih untuk merebahkan tubuhnya lagi. Mengganjal rasa sakit di tubuhnya yang tak jua mereda.
Tatapannya menerawang, menerka-nerka bagaimana caranya agar ia mendapat kata maaf sebelum pergi meninggalkan semuanya. Jeongwoo hanya ingin dimaafkan. Apa segitu beratnya?
Tak ingin ambil pusing, ia pun memejamkan matanya. Berharap suatu saat nanti ia bisa bahagia.
"Mari bertemu Mama di dunia mimpi.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
Teen FictionYoon Jeongwoo, si manis yang selalu mempertanyakan bagaimana indahnya rasa kasih sayang seorang ayah