Filosofi Kepala
Karya: Isefel🌱🌱🌱
Sesuatu akan tetap disebut sesuatu jika sifat sesuatu masih pada padanya. Sebuah sesuatu. Sangat rumit.
Seperti gula. Jika sifat manis hilang padanya, maka gula tidak akan bisa disebut gula lagi. Begitu pula hal lainnya.
Sesuatu itu tidak berubah, ia juga tidak hilang. Ia hanya ... terasingkan.
Seperti kisah antara seorang anak dan ayahnya. Dua orang itu tengah duduk dan sarapan di rumah mungilnya. Mereka makan tanpa ada yang bicara, hanya suara dentingan sendok dan piring yang menyita pendengaran mereka.
Adab makan.
Piring sang anak sudah kosong, ia berjalan membawa beberapa piring kosong lainnya menuju tempat cuci piring. Langsung mencucinya. Si Ayah pun juga menyelesaikan makannya, menyerahkan piringnya pada sang anak, lalu kemudian kembali ke meja makan untuk koran.
"Nak, tolong ambilkan Ayah gula pasir. Tehnya kurang manis," perintah si Ayah pada anaknya yang sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Iya, Yah. Tunggu sebentar," sahut si anak yang kemudian beranjak menuju dapur dan mengambil gula beserta tempatnya. Tidak mungkin hanya gulanya saja bukan?
"Nih, Yah," kata si anak. Sudah duduk di depan ayahnya yang menuangkan setengah sendok gula pasir ke dalam cangkir tehnya.
Sedang memikirkan sesuatu, si anak bertanya, "Ayah, kenapa gula itu manis?" Laki-laki yang lebih tua itu hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu. setelah kemudian menyeruput tehnya.
Si anak masih menunggu jawaban.
Sang Ayah kemudian memperbaiki duduknya. Mencari tempat ternyaman untuk perasaannya dan perasaan anaknya.
"Berarti, secara tidak langsung, kamu juga bertanya kenapa garam rasanya asin, kan?" Sang Ayah akhirnya menjawab pertanyaan anaknya. Namun, kali ini jawabannya adalah sebuah pertanyaan.
"Iya," sahut anaknya singkat, sembari mengangguk.
Sang ayah berdehem sebelum lanjut menimpali, "Manis adalah sifat gula, Nak. Jika sifat manis itu hilang, maka itu bukan gula namanya," jelas sang Ayah dengan bahasa yang sederhana, yang bisa dimengerti si anak.
"Tapi, orang-orang di sekolahku bilang kalau aku manis, Yah. Berarti sifatku manis, ya?" tutur si anak lagi. Kesan lugu bisa sang Ayah tangkap dari si anak saat ia mengatakannya.
Sang Ayah terkekeh mendengar penuturan tersebut.
"Mungkin saja begitu," jawabnya sesederhana mungkin.
"Kenapa Ayah jawabnya mungkin? Mungkin itu artinya iya atau tidak, kata yang tidak pasti, Yah," cerca si anak tak menerima jawaban yang setengah-setengah.
"Nak," suara sang Ayah sebelum berusaha menjelaskan. "Sifat pada benda mati dan manusia itu berbeda. Sekarang Ayah ganti jawaban Ayah tadi. 'Iya, kamu manis.' Nah, jadi sekarang kamu manis, kan?" ujar sang Ayah lagi.
Sang anak hanya bergumam, "Hmm." Sampai di sini, ia sudah paham.
"Jika sifat manis kamu hilang, kamu masih disebut manusia. Berbeda dengan gula tadi," ungkap sang Ayah kembali.
Lalu, ayahnya kembali bertanya, "Sekarang kamu sudah paham?"
Suara seruputan teh terdengar bersamaan dengan anggukkan paham si anak. Namun, ada sedikit ketidakpuasan dari matanya. "Tapi, bagaimana jika benda mati itu ada pada manusia, Yah?" ucap si anak dengan secuil ekspresi ragunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana dalam Aksara
Jugendliteratur"Hanya secangkir frasa dalam asa yang kian meredup." -JEJAK AKSARA SENJA- *** Hallo, hai. MinJAS bawa karya anak-anaknya, nih. Buat kamu yang suka dengan puisi, cerpen, quotes kamu bisa nih baca ini. Bisa juga dijadiin referensi, loh, buat yang la...