Episode 3: Awal dari Rheysa dan Arsen

602 85 20
                                    

- 1 Juni 2025, dua minggu sebelum tanggal pernikahan-

"Ukuran sama over all look udah oke, ya? Tinggal finishing dikit."

Rheysa yang sedang berdiri di depan kaca besar di galeri Erika hanya dapat mengangguk. Sungguh, dirinya tak mampu berkata-kata. Meski sederhana dan dadakan, karya sahabat plus timnya ini memanglah cantik. Tidak kalah dengan model-model yang ada di katalog.

Satu kata. Sempurna. Rheysa sungguh jatuh cinta pada gaun yang akan dipakainya untuk menikahi Arsen nanti.

"Thank you so much, Rik..," ungkap Rheysa yang tiba-tiba saja terharu sampai ingin menangis. Wanita itu menghambur ke tubuh Erika dan memeluknya dengan erat. "Makasih udah buat nyata gaun impian gue."

Mendengarnya, Erika pun tersenyum lembut seraya memeluk balik Rheysa. Inilah salah satu momen paling membahagiakan dalam profesi Erika sebagai desainer baju pengantin. Melihat para kliennya jatuh cinta dengan penampilan mereka untuk hari bahagia adalah hal yang menakjubkan. Apalagi jika sampai terharu dan menangis. Erika jadi ikutan terbawa suasana.

"You're welcome, Rhey," bisik Erika lembut. "Samawa, ya, lo. Bahagia terus sama si Arsen."

"Pasti, Rik. Pasti."

"Jangan lupa kenalin bocil lo suatu saat ke gue, ya? Dia harus tau kalau mamanya punya temen spek malaikat yang namanya Erika! Titik!"

Sejenak ruangan itu hening sebelum tawa renyah terdengar dari keduanya. Pelukan mereka pun terlepas. Setelahnya tidak banyak percakapan terjadi karena Erika sibuk membantu Rheysa yang hendak melepas gaun.

Sesuai rencana yang dibuat tempo hari, Erika dan Rheysa berencana untuk hang out di kafe setelah fitting. Banyak sekali yang ingin dibicarakan setelah lama berpisah dan hanya sesekali terhubung secara online. Menjadi dewasa memang tidak selamanya menyenangkan. Bahkan, kawan terdekat pun dapat berjarak karena harus mengurus kehidupan masing-masing hingga quality time berkurang.

Siang itu, kedua wanita sepakat untuk mengunjungi kafe yang dulu sering mereka pakai untuk nongkrong atau sekadar kerja kelompok zaman SMA. Ternyata memang awet sekali dan masih berdiri sampai sekarang. Lokasinya yang strategis membuat kafe tersebut hampir penuh oleh pengunjung berseragam putih abu-abu. Untung saja masih ada sisa kursi di dekat jendela ketika mereka masuk ke sana.

"Ya, ampun! Gue kangen banget sama matcha di sini," kata Rheysa saat melihat-lihat menu.

Erika sendiri juga senang karena menu kesukaannya masih ada. "Apa rasanya udah berubah, ya? Dulu gue juga suka banget sama susu melonnya."

"Lo gak pernah ke sini lagi, Rik? Padahal, kan, rumah lo gak jauh-jauh amat."

"Gak mau. Gue biasanya ke sini sama lo terus. Nanti malah makin ngerasa ngenes ditinggal ke Australia kalau sendiri."

"Aduh, aduh. Kasian banget anak kesayangan gue." Rheysa mencubit gemas pipi Erika, persis seperti yang dulu ia sering lakukan saat SMA. Zaman-zaman ketika Erika masih lebih chubby. "Jangan sedih lagi. Emak pulang bawa calon papa baru buat kamu. Cup, cup."

"Ih! Geli, anjir!" seru Erika horor sambil mundur dan mengusap-usap pipinya. "Udah gede juga. Candaannya masih emak-anak," gerutu wanita itu malu. Mau ditaruh di mana mukanya? Saat ini mereka adalah dua wanita dewasa yang salah tempat nongkrong di kafe anak SMA!

Rheysa sendiri hanya tertawa dan nyengir lebar. Nostalgia memang menyenangkan. Apalagi bersama sahabat lama yang menemani masa-masa paling berwarna di SMA.

Kembali melihat-lihat daftar menu, Rheysa pun bersuara, "Oh, iya, Rik. Lo jadinya mau pesen apa?"

"Gue--"

Simpul KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang