Chapter 06 - School

5 1 0
                                    

06:45

Masuk ke dalam kelas mata Nano, Nilo, Nadi, dan Teiga langsung disuguhi pemandangan yang sudah biasa dilihatnya selama beberapa tahun ini.

"Yang punya tipex pinjem woi!"

"Lah, yang ngambil bolpoin gue siapa? Perasaan baru gue tinggal beberapa detik di atas meja, udah hilang saja? Mana baru beli."

"Mur! Mur! Nomor sembilan enam apa?!"

"Perasaan soalnya cuma ada tiga puluh enam? Kenapa jadi sembilan enam?"

"Tun! Bawa penggaris nggak?! Kalau bawa pinjam, gue kurang nomor lima doang nih!"

Dan, masih banyak lagi teriakan serta jeritan siksa di kelas XII Ipa 4.

Setiap meja berkumpul sekitar empat sampai enam orang dengan di tengahnya ada satu buah buku sebagai acuan.

Nano duduk dengan Nadi, sedangkan Nilo duduk dengan Teiga. Mereka ada di urutan nomor satu dan nomor dua dari belakang.

Nilo menoel salah satu siswa yang duduk di depannya. "Memang ada pr?"

Siswa berkulit hitam manis bernama Murito itu menjawab, "Ada. Pr matematika yang pas hari senin itu loh." Tanpa membalikkan badan, dia sibuk menulis melebihi kecepatan cahaya.

Nadi memukul kepalanya. "Eh, iya, anjir! Gue lupa! Mana nanti disuruh maju satu-satu, 'kan?"

Jika dua sahabatnya sudah sangat kelimpungan mencari seseorang yang sudah menyelesaikan seluruh pr dengan tuntas, maka Teiga saat ini sedang menyatukan ke dua tangan dengan mata tertutup seraya mulut komat-kamit.

"Dewa, tolong saya ... tolong saya ... semoga bu Jelita Manjalita Bahenolia nggak jadi masuk karena mencret supaya kelas kami terhindar dari segala macam marabahaya yang melanda. Dewa, jika tidak kepepet, saya juga tidak akan berdoa seperti ini. Maka dari itu, saat ini juga kabulkan doa saya."

Kira-kira, itu yang Nano dengar saat dia mendekatkan daun telinganya ke arah Teiga. Laki-laki itu berdoa menggunakan bahasanya sendiri, supaya terdengar lebih sopan kalau menghadap, Dewa-nya.

Nano bangkit dari duduk, tangannya menepuk pelan bahu sang sahabat yang matanya masih terpejam. "Lo tunggu di sini, doa terus jangan sampai kendor. Gue mau ke kelas, Tita, dulu buat nyontek. Kalau doa lo berhasil, gue kasih pesawat terbang keluaran terbaru." Setelah itu berlalu ke luar kelas.

Ya ... walaupun cita-cita Teiga ingin menjadi salah satu anggota Dark Web, pembunuh bayaran yang tidak diketahui identitasnya, dan hacker handal, dia masih mau berdoa dan mengingat Sang Pencipta.

|||

08:00

Kebiasaan Tita ketika hujan, suka pergi ke toilet. Entah kenapa, mendengar rintikan air yang jatuh dari langit, selalu membuat dirinya ingin terus pergi ke sana.

"Issh, jangan makan mulu. Nanti ketahuan gue juga yang kena," omel Tita pada sang teman sebangku.

Camilan Zahwa diletakkan di dalam laci dan ketika ingin makan, mulutnya ditutupi oleh kerudung layaknya masker supaya tidak terlalu kentara. Terlebih lagi meja ke duanya ada di tempat yang strategis untuk makan, minum, mengobrol, bahkan tidur.

"Gue lapar, tadi pagi belum sempat sarapan," dalihnya tidak mau disalahkan, tangannya masih saja keluar masuk laci.

Kepribadiannya dan Zahwa hampir mirip, itu sebabnya pertemanannya dengan gadis itu langgeng sampai sekarang.

"Karena giliran kita buat maju masih lama, nganter gue ke toilet, yuk? Udah kebelet nih."

"Hujan-hujan gini jadi malas keluar. Lo ke kuburan tengah malam buat nyari pesugihan saja berani, masa ke toilet saja enggak?"

Tita in Human SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang