Chapter 10 - Old Story

5 1 0
                                    

09:16

"Boleh, ya, Pak?"

"Nggak boleh Tita! Itu sudah peraturan sekolah!" jawab Pak Susanto, kepala sekolah SMU Semua Bisa.

Setelah dia berpikir cukup lama, akhirnya gadis itu mengusulkan supaya sekolah mau menerima penjual dari luar.

"Yaah, Bapak, mah gitu! Nggak punya hati nurani buat bantu orang-orang yang kurang mampu."

"Bukannya begitu, Tita. Tapi kita tidak akan pernah tahu makanan dari luar dibuat seperti apa, jadi untuk menjaga sebaiknya jangan. Nanti kalau ada yang makan terus sakit kamu mau tanggung jawab?"

"Kan, bisa disurvei mana yang boleh jualan dan mana yang enggak. Lagipula, yang sekolah di sini bukan hanya orang kaya saja, tapi ada juga siswa siswi yang kayak saya. Bahkan mereka nggak dapat beasiswa tapi orang tuanya mau menyekolahkan anaknya di tempat terbaik supaya mendapat ilmu lebih banyak."

"Ya ... salahkan orang tuanya kenapa menyekolahkan anak mereka di sini," elak Pak Susanto berpangku tangan. Laki-laki itu tidak mau tahu, beliau hanya menyandarkan punggung di kursi empuk berbahan kulit mahal.

"Orang tua itu mau melakukan apa saja supaya anak mereka sukses. Sebagai orang yang bisa dikatakan nggak mampu, mereka punya harapan yang besar terhadap anaknya," balas gadis itu tidak mau kalah argumen begitu saja.

"Makanan kantin terlalu mahal, cuma satu bakwan dijual harganya lima ribu padahal biasanya cuma lima ratus rupiah atau seribu. Para orang tua juga kerja keras buat bayar ini dan itu, belum lagi kalau ada tanggungan yang lain. Kalau mengandalkan uang pemerintah, nggak akan pernah cukup."

"Kenapa tidak membawa bekal saja dari rumah?"

Ah, ya! Jawaban atas pertanyaan itu belum dia pikirkan, jadi sekarang Tita sedang memutar otak untuk menemukan jawaban yang pas. Tidak keren kalau dia hanya berhenti di sini.

"Bosan, Pak." Sembari menggebrak meja. "Masa tiap hari bawa bekal? Mereka juga pengen makan yang lain selain nasi, sayur, ayam kalau beruntung. Belum lagi setiap pagi jarang ada yang sarapan."

"Ya ... walaupun bosan, ya, tetap harus makan. Itu resikonya."

"Resiko jadi orang miskin maksudnya? Bapak tahu sesuatu?" Tita memajukan tubuhnya ke bibir meja kaca yang terbuat dari kristal, membuat Pak Susanto sedikit ketakutan kala melihat perubahan signifikan raut wajah gadis di depannya.

"Kebanyakan anak miskin kayak saya tuh pada dibully teman-temannya karena kalah dalam satu dan lain hal yang berhubungan dengan uang dan kekayaan, itulah kenapa para siswa siswi itu merengek dan memaksa orangtuanya memenuhi keinginan agar tidak kalah dengan yang lain. Agar tidak dibully juga."

"Sekarang giliran saya yang tanya. Kenapa siswa siswi itu harus merasa gengsi sama yang lain? Bukankah ada pepatah, 'Anjing menggonggong kafilah pun berlalu'? Mereka bisa mengabaikannya bukan?"

Baiklah. Pak Susanto rupanya ingin menantang dirinya, belum tahu saja kalau Tita itu sangat jago dalam hal adu bacot.

"Oh, tentu! Tentu saja bisa, tapi kalau terus-terusan dibully apa nggak capek? Bukan hanya capek fisik, tapi juga capek hati. Di sekolah ini memang belum pernah ada yang bunuh diri, tapi bukan berarti nggak mungkin."

"Saya beruntung karena saya punya Nadi, Nano, Teiga, Nilo, dan Zahwa yang jagain saya, jadi hidup saya nggak sengsara-sengsara banget. Sedangkan mereka? Belum tentu ada yang mau menjaga."

Remaja perempuan itu mendorong kursi berkaki roda yang tadi dia duduki setelah itu bangkit, tak lupa pula mengulas senyum lebar. "Saya nggak memaksa apalagi mengancam, saya hanya menyarankan. Jadi, saya harap Pak Susanto mempertimbangkannya lagi. Saya permisi."

Tita in Human SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang