Chapter 05 - Home

7 1 0
                                    

15:19

Udara sore hari berbeda dengan udara pagi. Jika, pagi hari identik dengan kesejukan dan kesegaran, maka sore hari identik dengan polusi udara dan kebisingan yang memekakkan telinga.

Terlebih, kota Jakarta identik dengan sebutan kota besar yang kebanyakan orang lebih memilih memakai kendaraan daripada sepeda ramah lingkungan.

"Ternyata kalau sudah terbiasa jalan kaki kayak gini? Rasanya nyaman dan enak saja," ungkap Teiga baru sadar setelah sekian lama. Tangannya kemudian menarik Nadi yang jalannya hampir ke tengah seraya berseru, "Novelnya masukin dulu dong, nanti baca di rumah Tita saja! Kan, nggak lucu kalau lo mati sambil baca buku!"

Sang empu yang sedari tadi senyum-senyum sendiri berdecak kesal, menatap sinis. "Ck. Padahal lagi seru-serunya." Walaupun menggerutu, tapi dia tetap memasukkan benda tersebut ke dalam tas.

"Tit, emang lo nggak pengen gitu beli kendaraan sendiri supaya bisa pulang pergi ke sekolah? Bukannya uang bulanan sepuluh juta masing-masing dari kita cukup, ya? Atau setidaknya lo naik limosin bareng kita berempat, nanti kita bisa antar jemput lo?" heran Nadi. Hampir tiga tahun berteman dengan gadis itu, dia tidak pernah tahu jalan pikirannya seperti apa.

Pasti selalu ada hal mengejutkan yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka berempat.

"Selagi masih punya kaki, kenapa nggak digunain? Lagian, jalan kaki tuh lebih sehat, lebih enak, dan lebih bisa menghargai hidup. Kan, kalian juga tahu kalau setiap bulannya uang itu selalu habis gue gunain."

Nilo mangguk-mangguk, sesekali sudut bibirnya terangkat. "Iya juga, ya, Nus? Semenjak kita temenan sama lo, hidup kita berubah total."

"Awalnya kita naik mobil, sekarang jalan kaki. Awalnya kita punya ruangan sendiri, sekarang harus bergaul sama yang lain. Awalnya juga kita menganggap remeh wanita, sekarang harus memuliakan mereka. Kalau bukan karena, Titanus, kita nggak bisa ngerasain nikmatnya menjadi orang biasa tanpa bergelimang harta."

Karena pujian Teiga, Tita jadi melayang ke udara entah terbang ke mana.

Baiklah. Akan kuberi tahu kalian tentang beberapa hal aneh dan tidak akan pernah kalian temui di manapun.

Pertama, tentang audisi tiga tahun yang lalu, Tita berhasil memenangkannya dan sampai sekarang mereka masih berteman. Ke dua, mereka berlima sepakat menamai perkumpulan dengan sebutan, 'Human' yang tentu saja di dalamnya memiliki filosofi tersendiri. Ke tiga, Tita memiliki tiga panggilan istimewa yaitu Tit, Nus, dan Titanus.

Tiba-tiba saja gadis berponi itu membalikkan badan, menatap malas ke empat laki-laki di depannya. "Daripada ke taman, kalian mau gue ajak ke suatu tempat nggak?"

|||

Empat pasang mata itu terus saja menelisik setiap sudut bangunan bercat cokelat muda dan putih gading tempat mereka berpijak saat ini.

"Lo ngapain ngajak kita ke kandang sapi?" tanya Nilo mewakili yang lain juga.

Gadis yang ditanyai menghentikan tangannya saat berhasil membuka pintu dan hendak masuk. "Kandang sapi ini rumah gue."

Baik.

Hidup mereka tersisa beberapa menit lagi, apa yang harus mereka lakukan di waktu itu?


Nilo menyengir lebar, ke dua tangannya disatukan. "Hehe, maaf. Gue keceplosan, soalnya ini pertama kalinya lo mengizinkan kita datang ke rumah lo."

"Iya. Kalau gue boleh berpendapat, ni rumah kayak udah tua karena catnya juga udah pada ngelupas, hampir mirip rumah hantu sih. Kalau malam pasti seram?" Entah sadar atau tidak, Teiga ikut menambah beban.

Tita in Human SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang