Chapter 11 - Mengerti?

7 2 0
                                    

"TITA!!" jerit Zahwa saat dirinya menemukan sang sahabat sekaligus teman sebangkunya tergeletak tidak berdaya di toilet dengan darah yang berceceran di wastefel serta seragam.

Padahal, beberapa menit yang lalu dia masih berbicara dengan gadis itu lewat telepon dan meminta supaya dibelikan tisyu yang nantinya akan diantarkan ke kamar mandi.

"Tita bangun, Tita! Kenapa lo malah pingsan di tempat jijay kayak gini sih? Kenapa nggak sekalian di jambannya saja?" Zahwa menepuk pipi sahabatnya beberapa kali, tapi hasilnya nihil. Jangankan membuka mata, bergerak saja tidak.

|||

"Sorry, lupa gue. Tapi kalau lo nggak punya, Tuhan, lo percaya dan bergantung sama siapa?"

"Sama diri gue sendiri dan sama orang-orang terdekat gue, kalian contohnya."

Jawaban Nadi sontak membuat yang ada di sana menatap tidak percaya.

Mereka rasa otak Nadi harus diperiksakan ke rumah sakit. Bahkan jika bisa dikatakan, mereka adalah salah satu manusia terpilih yang ditakdirkan tidak waras kecuali tampang.

"Kita? Sakit lo?" beo Nano mewakili.

"Tempat pulang gue cuma ada dua, kalau nggak ke rumah, ya, ke kalian. Sama kalian dan Tita tuh bikin beban pikiran yang gue tanggung jadi berkurang. Ya ... walaupun pada dasarnya kalian emang nggak punya otak, nggak punya adab, dan nggak punya hati gue tetap mau jadi teman kalian. Terpaksa sih sebenarnya," ungkap Nadi disertai kekehan di akhir.

"Lo kayak punya itu semua saja, padahal nyatanya mah sama saja," cibir Teiga.

Nano melihat jam dinding yang melingkar di tangannya. "Udah mau bel nih, balik aja yuk? Kayaknya Tita udah balik ke kelas."

"Bentar!" Nilo menghadang ke tiga sahabatnya. "No, itu jam lo dapat dari mana? Perasaan tadi nggak ada?"

Yang ditanyai menggeleng. "Nggak tahu. Kayaknya yang nulis gila deh. Bukannya ngasih jam yang terbuat dari permata mahal, emas, atau berlian, malah dikasih jam dinding, warna pink pula."

|||

"Lo udah sadar, Ta? Gimana perasaannya pingsan di kamar mandi? Tadi ada bau pesing nggak?" Zahwa langsung memberondong pertanyaan kala gadis di depannya terlihat menggeliat di atas ranjang mewah nan empuk UKS. "Minum dulu." Bangkit dari kursi, membantu mendudukkan diri sembari menyodorkan gelas besar berisi teh.

"Ini buatan lo?" tanya Tita masih agak sedikit pusing saat dia meminum air berwarna cokelat tersebut.

"Enggak. Ini buatan anak. PMR tadi."

"Oh, pantas rasanya enak."

Ya semua orang juga tahu, hal pertama yang dilakukan anak PMR saat ada orang pingsan adalah memberi segelas teh dan untung saja rasanya selalu pas, tidak kemanisan juga tidak terlalu tawar.

Tapi, kenapa harus teh? Kenapa tidak nasi uduk, nasi goreng, rendang, sate, bakso, atau makanan gitu supaya perut keyang?

Terus kalau mau kembung selain teh misalnya susu, coktail, wine, anggur, soju, atau jus jeruk saja biar pas bangun matanya langsung ngejreng.

"Gue telepon Nadi, Teiga, Nilo, sama Nano saja gimana? Biar lo dibawa ke rumah sakit."

"Jangan!" Tita langsung merebut ponsel yang baru dikeluarkan Zahwa.

"Kenapa?"

"Biaya rumah sakit mahal, terlebih mereka pasti nyiapin kamar super VVIP buat gue menginap supaya gue benar-benar tenang nggak tertangggu. Lo juga tahu sendiri mereka gilanya dah berlevel-level."

"Ya malah bagus dong, itu artinya mereka sayang dan perduli sama lo."

"Bukan gitu, tapi gue nggak mau saja hutang budi terlalu banyak. Mereka tuh terlalu goblok sampai apapun yang gue mau mereka beliin, apapun yang buat gue susah mereka singkirin, dan apapun yang gue katakan dalam hati pasti mereka selalu tahu. Diam-diam ada saja gitu."

Tita in Human SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang