🌸🌸
"Mah," panggilku memasuki salah satu ruangan tempat mamah menghabiskan waktu tak jauh dari wajan dan kompor. Aku melihat seorang wanita paling cantik yang pernah kulihat itu memunggungiku. Semerbak wangi rempah-rempah menusuk indra penciumanku. Aku mendekat melihat apa yang mamah masak benar tak jauh dari sambal goreng kentang (mustopa) dan telur. Tapi, siapa sangka aku merindukan masakan itu tak ada yang bisa menggantikan masakkannya mamah sampai saat ini.
"Ada apa, sih?" tanyanya heran menatapku sekilas lalu pergi mengambil toples berisikan garam setelah itu kembali membumbui masakannya. Aku pergi menuju meja makan dimana jajaran piring sudah menantiku. Harum yang khas membuatku ingin terus mengendusnya.
"Masak apa? Mau makan!" teriakku bersemangat akan mengambil piring dari dalam lemari kaca. Tepat sekali aku baru saja pulang sekolah, setelah tadi aku menengok Naka, aku kembali ke sekolah untung masih sempat mengikuti pelajaran kebetulan guru sejarah tidak datang hari ini jadilah jam pelajaran kosong.
"Makan, ya tinggal makan!" tidak ada berubahnya jawaban mamah selalulah seperti itu, memang ada benarnya juga. Aku bersemangat mengambil nasi dan beberapa lauk lainnya. Tak lama mamah membawakan sepiring lauk lainnya yang baru dihidangkan dari wajan tentu aku tidak akan menolaknya.
"Nih, make telor bumbu merah!" tawar mamah. Tanpa disuruhpun aku langsung mengambilnya walaupun aku sedikit bosan dengan telur bumbu merah ini tapi pergi beberapa hari saja aku langsung merindukannya. Makan menggunakan memang paling mantap ditemani sambal terasi kesukaanku, aku sudah mirip seperti orang rakus tak makan beberapa hari saking lahapnya. "Enak, mah!" pujiku pada mamah.
"Ya iya dong, siapa yang masak!" sahut mamah percaya diri, kini dia sibuk menuangkan air panas kedalam termos. Kedatangan bapak membuatku kesal karena lengan jahilnya memegang pucuk kepalaku, seperti inilah tingkah jahil bapak yang kadang membuatku kesal, entahlah aku rasa dia berbeda dengan bapak-bapak lainnya. "Kenapa?" tanyanya berdiri disampingku dengan baju koko dan peci sehabis pulang dari sembahyang di masjid. Ya, papah sedang libur hari ini.
"Ih," desisku sebal. Papah terkekeh.
"Katanya enak pisan masakan mamah. Hai, masakan di jawa gak suka!" mamah kembali menyahut. Memang benar masakan bibiku yang berada di Jawa kurang aku minati hanya masalah sepele sebetulnya hanya karena masakannya manis membuatku tak suka. Mamah asli orang sunda sedangkan papah berdarah Jawa asli karena sama-sama merantau mereka akhirnya bertemu di Bandung dan lahirlah aku dan kakakku. Pasti kakakku sekarang sedang enak tiduran di kasur empuk sambil memainkan gamenya. Ya runititasnya setelah pulang bekerja, rebahan.
"Manis masakan jawa mah," ucapku sambil melumat sisa-sisa sambil yang menempel di jari-jariku. Ternyata tak berubah, aku senang memiliki keluarga yang menyayangiku walaupun terkadang menyebalkan percayalah tak ada yang lebih menyayangi kita dari pada keluarga apalagi kedua orang tua.
√√√
Hufftt ...
Apa gunanya aku terus memandangi Naka tanpa mau mengatakan satu patah katapun padanya. Aku ingin bicara dengannya berdua saja kenapa begitu sulit? Apalagi Naka selalu di kelilingi oleh teman-teman cowoknya sama seperti sekarang dia tengah asik bermain bola bersama teman-temannya di lapangan sedangkan aku berdiri mengantri makanan di kantin, menit awal selalu penuh sudah tidak aneh dan heran lagi. Aku bersama Rissa tengah berdiri menunggu giliran.
"Lo beneran mau gabung eskul Volly??" tanya Rissa tiba-tiba di sela-sela kami menunggu antrian cireng kantin yang terbilang best seller di sini. Ah, iya kemarin Pak Lingga guru olahraga menawari salah satu ekstrakulikular bola besar jadilah aku ikut bukan karena aku menyukai Volly melainkan aku sudah tau Naka ikut eskul itu, aku saja payah dalam olahraga karena demi kesempatan PDKT yang entah aku saja tidak tau sampai kapan akan berakhir maksudku dekat bukan ingin pacaran tapi setidaknya aku bisa berteman dekat itu saja walaupun namanya cewek kadang penasaran liat teman-temanku jadian.
"Iyalah. Lumayan buat latihan biar gak takut bola lagi!" balasku mengancungkan kedua pundak dengan pandangan sesekali melirik seorang dari lapangan sebentar saja berpaling aku sudah tidak melihat Naka di lapangan. Kantin dan lapangan saling bersebelahan tak heran kami juga bisa lihat para lelaki duduk dan bermain dipinggir lapangan. Telah akhirnya barisanku maju selangkah lagi namun, seorang lelaki tak ada rasa malu mengambil alih antrianku tak segan-segannya mendorong.
"Awas-awas urang duluanlah!" ujar para berandalan gila itu maju lebih dulu memesan makanannya padahal akulah yang mengantri lama di sini.
"Auuu, hey!" aku memekik kesal sedangkan Rissa berhasil memesan makanannya lebih dahulu karena dialah yang duluan mengantri dari pada aku. Cowok itu malah tuli mau seenaknya saja.
"Antri woi!" teriak seseorang dari belakang. Aku menoleh ketika tubuh tinggi dan tegap itu kini menatapku dengan mata besarnya. Memang aku berada diantrian paling terakhir. Naka, berdiri setelah dua hari mulutku kaku hanya ingin menyapa rasanya sangat sulit yang kulakukan hanyalah memandangnya dari jauh.
"Mau duluan?" Dia kembali bersuara. Aku sudah kenal dengan Naka bahkan pernah satu ruangan tapi kenapa rasanya masih gemetaran bila sudah berdiri dihadapannya.
"Eh?" ulangku. Aku melirik kebelakang benar cowok tadi sudah pergi. Aku tersenyum kecil maju selangkah kedepan aku sampai lupa ingin membeli apa akhirnya satu bungkus bengbeng aku ambil sambil sesekali memelirik kebelakang dimana Naka masih berdiri menunggu antrian. Tanpaku sadari pandangan kami kembali bertemu mata belotot serta tubuh tinggi pantas di akun pesan anonim sekolah banyak sekali pesan untuk Naka, mungkin hanya aku yang tidak berani mengirim menfess untuknya.
Aku mendatangi Rissa yang kali ada Thalia bergabung di atas bangku kayu kantin. Kedua teman baikku duduk disana. Rissa melirikku,"Masih heran, deh sama lo yang kemaren-kemaren aneh gitu eh tiba-tiba balik ke diri Lo yang lama?"
"Udah-udah si Khanzza mah di rasuki setan kemaren-kemaren! Dadah ... Mau pergi ah, sama Rissa ... Khanzza tinggal!" tambah Thalia tanpa dosa. Enak saja kerasukan setan tapi, ada benarnya juga nenek penyihit kemarin memang sudah lama meninggal dunia. Maafkan aku nenek dasar Thalia bikin kesal saja sekarang saja dia main tarik-tarik Rissa pergi meninggalku.
"Ih, jahat banget! Tungguin!" aku menggerutu kesal menyusul dua teman satu kelasku itu aku saja lupa bagaimana bisa sedekat ini dengan mereka padahal kami dahulu sempat satu SMP tetapi karena berbeda kelas alhasil kami tidak pernah kenal dan berakhir seperti sekarang berteman dekat.
"Alahh, tadi siapa Za, yang belain? Di kantin? Naka ... Ciee Naka ..." goda Thalia berlari kecil sambil berlari menarik lengan Rissa.
"Apa ceunah gak jelas! Jangan temen Thalia guyss!!" balasku berteriak lari mengejar Thalia sebal akan ku tampol saat dia tertangkat nanti bikin malu saja teriak-teriak sampai orang-orang sekitar menoleh. Kami sama-sama tertawa setelah lelah berlari menuju kelas kami.
"Kangen banget kalian ih," aku berdiri ditengah-tengah memandang Rissa dan Thalia bergantian lalu merangkul mereka, gemas.
"Kangen apa ye, kita mah gak kangen ya!" kata Rissa terkekeh. Kami tertawa bersama.
"Jahat ih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JADI KUCINGNYA CRUSH! [END]
Teen FictionNamaku Felisa khanzza Adira, kehidupanku biasa saja dari teman, sekolah, hingga otak. Aku tidak menyangka hidupku akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah aku tertarik pada seorang Naka Gaffino, gara-gara pidato dimuka umum yang dia lakuka...