12. My Personal Trainer

9.4K 33 0
                                    

My Personal Trainer

By Tamara Aruna

Gue bisa merasakan sesuatu yang keras menggesek di antara bokong gue. Membuat gue terhenyak dan hilang konsentrasi sehingga bar di tangan gue nyaris terpeleset.

Dua tahun lalu, gue nikah dengan Bobby. Highschool sweet heart gue. Satu tahun kemudian gue stay di rumah. Dia nggak ngasih gue kerja. Sebagai istri yang baik, gue turutin semua perkataannya. Apalagi, setelah satu tahun usia pernikahan, gue nggak kunjung berhasil mengandung anaknya. Gue lepas karir gue dan jadi ibu rumah tangga. Duit emang nggak pernah jadi masalah buat Bobby. Selain keluarganya kaya raya, bisnis otomotif Bobby berkembang pesat. Gue stay di rumah pun, perekonomian keluarga kami nggak ada ngaruhnya. Paling-paling, gue akan banyak waktu luang karena menganggur. Di rumah, Bobby sanggup ngasih gue dua orang asisten rumah tangga sehingga praktis, gue nggak ngelakuin apa-apa. Gue sempat ngeluh, badan gue jadi gemuk dan dia makin jarang nyentuh gue. Mendengar keluhan gue itu, Bobby ngebangunin gue home gym di halaman belakang dekat kolam renang. Lengkap dengan semua peralatan dan seorang Personal Trainer berdarah Hispanic bernama Tyo. Dia orang Spanyol yang sudah lama tinggal di Indonesia. Ibunya orang Bali. Mereka kembali tinggal di Jakarta setelah ayah Tyo meninggal dunia.

Sore ini, setelah latihan beberapa bulan dengan Tyo, dia encouraging gue buat nambah beban di bar squat gue for the sake of personal record. Dia spotting tepat di belakang gue. Kedua tangannya menekuk di bawah lengan gue, siap mensupport jika gue nggak sanggup kembali bangkit setelah deep squat. Di repetisi ke-dua, gue mulai goyah dan Tyo sebagai seorang profesional bisa membaca itu. Dia maju, mengetatkan lengannya ke dada gue untuk menyokong gue kembali berdiri. Bokong gue yang menukik dan berusaha mengimbangi upper body gue pun menggesek pinggangnya. Gue kaget saat gue bisa merasakan batang kejantanan Tyo mengeras, bar di tangan gue nyaris meleset, tapi gue berhasil tetap berdiri dengan bantuan tangan Tyo yang menelangkup buah dada gue. Dia kemudian maju bersama langkah gue dan membantu gue menyangkutkan bar kembali ke rack.

Di sana, gue dan dia berhenti dan saling terengah. Cermin di depan gue memantulkan warna wajah gue yang merah, dan rahang Tyo yang mengetat. Gue menelan ludah. Tyo nggak kunjung melepaskan tangannya dari payudara gue yang terbungkus sport bra ketat dan menopang bentuknya menjadi bulat sempurna. Tyo mempertemukan tatapannya dengan tatapan gue di cermin. Mulut dan bibir gue terasa tandus. Gue menjilat bibir dan memejamkan mata ketika dengan berani, Tyo menempelkan bibirnya ke lekuk leher gue yang basah oleh peluh. Refleks, gue mendesah dan menyebut namanya, "T-tyo... ah...."

Berkat Tyo, gue mendapatkan bentuk badan idaman gue selama ini. Sejak remaja, gue memang ramping, tapi tubuh gue skinny fat. Kayaknya kurus, tapi karena nggak dilatih, sebenarnya penuh lemak. Di tangan Tyo, dengan latihan intens dan saran pemenuhan nutrisi yang ketat, gue mendapatkan tubuh yang padat dan seksi. Gue menuai banyak pujian dari teman-teman, bahkan rekan kerja Bobby kalau gue diajak ke pertemuan bisnis, atau makan malam dengan kolega. Orang-orang berpikir, perubahan fisik gue berbanding lurus dengan kehidupan seks gue bersama Bobby. Teman-teman akrab gue mulai membenahi gaya hidup, berharap suami-suami mereka lebih sering nyentuh mereka seperti gue. Namun, sejujurnya, perlakukan Bobby ke gue nggak berubah. Dia semakin sibuk kerja dan nyaris nggak menyadari perubahan bentuk tubuh gue sebelum orang-orang memuji gue. Akhir-akhir ini, dia justru sering nggak berada di rumah, sibuk dengan pengembangan bisnis, dan nggak jarang harus menginap di luar.

Gue kesepian.

Gue membutuhkan pengakuan dan pujian dari lelaki yang gue sayang. Gue berharap kehidupan seks kami meningkat seperti anggapan Tyo setiap kali dia memuji glutes gue yang membulat, atau pinggang gue yang semakin sempit dengan pinggul yang sekal dan padat. Gue nggak pernah mengakui aib rumah tangga gue di depan siapapun, sampai tadi pagi dia mendengar gue perang mulut dengan Bobby lewat telepon. Setelah semalam nggak pulang, suami gue itu menelepon gue hanya untuk memberitahu bahwa dia belum bisa kembali ke rumah malam ini. Gue marah dan menangis, gue nggak tahu Tyo sudah datang saat adu mulut antara gue dan Bobby terjadi.

Mature ContentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang