“Kesalahan seseorang bisa saja termaafkan, tapi untuk melupakannya tidak akan pernah bisa”
—Ayara Aimara—••🕸••
Setelah mendapatkan tamparan dari mamanya, Yara tak pernah keluar kamar sama sekali. Sejujurnya Mamanya juga menyesal melakukan itu, benar benar gerakan refleks
Tapi Mama Yara gak berpikir kalau tamparan itu bukan cuman membekas dipipi tapi juga dihati.
"Yar?" Panggilnya mengetuk pintu kamar Yara
Mama Yara hanya bisa menghela napas ketika tidak ada jawaban. Sudah dipastikan Yara marah kepadanya
"Yara, Mama boleh masuk?"
"Masuk aja. pintunya gak dikunci" Balas Yara dari dalam
Di dalam kamar, terlihat Yara sedang duduk di atas kasur mengelus-elus Mbek, kucing lucu yang ia dapat dipinggir jalan. Pandangannya ia alihkan kearah lain, hingga mamanya ikut duduk disampingnya walaupun wajah Yara tak terlihat senang karena keberadaannya
"Nak, ma-maafin Mama" Ucapnya lembut. Kemudian tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata di pipi Yara
Rasanya Yara ingin bilang kalau maaf saja tidak akan mampu menghilangkan rasa sakit itu, ingin marah tapi dia tidak mau menjadi anak durhaka.
"Gak apa apa, Yara juga salah" Ucap Yara memaksakan untuk tersenyum walaupun didalam hatinya sangat kecewa karena dulu semarah marah Mamanya dia tidak pernah main tangan. Yara tidak permasalahin rasa sakitnya dia hanya kecewa.
"Mama benar-benar gak sengaja Yar" Ucapnya kemudian memeluk Yara. Menurut Yara Mamanya itu orang yang membingungkan kadang bersikap manis kadang juga bersikap mengecewakan dan membuat Yara sedih.
"Kalo gitu Mama tinggal ya? Mau bikinin Dion susu dulu" Mamanya mengelus rambut Yara sebelum pergi membuat Yara tersenyum.
Yara memandangi Mamanya yang sudah keluar dari kamarnya, terdengar ia menghela napas kemudian meraih gitar klasik miliknya untuk menghibur diri.
Walaupun Yara masih pemula, dia begitu lihai memainkan gitarnya dan itu berkat Akra yang mengajarinya seharian penuh minggu lalu.
Jika Yara pintar di bidang akademik berbeda dengan Akra yang pintar di bidang non akademik contohnya seni dan olahraga. Namun sebagian orang menganggap orang yang pintar itu hanya mereka yang pintar matematika dan pelajaran yang berkaitan dengan perhitungan.
Ditengah keasikan itu tiba-tiba dorongan keras terdengar dari arah pintu kamarnya, dia sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"YARA!!" Pekik ketiga temannya yang tergesa-gesa memasuki kamarnya. Yara menggeleng-geleng melihat kelakuan temannya itu, selalu saja tidak pernah memberi salam. Andai Yara punya penyakit jantung udah lama ia dirawat di Rumah sakit.
"Kok lo gak ke warung Mang Ucup sih?" Tanya Tari mencondongkan bibir bawahnya kesal.
Sebenarnya Yara ada rencananya mau ke sana tapi karena suasana hatinya tidak enak hingga dia tetap berada di kamarnya.
"Tau. Akra di sana udah kayak mayat hidup karena gak ada lo"
"Yar.... Kucing lo cute banget!" Tari mengambil alih kucing yang ada dipangkuan Yara.
"Lucu banget. Kita kawanin sama kucing gue yuk Yar." Ucapnya mengelus-elus kucing itu yang terlihat nyaman dalam gendongannya.
"Salah minum obat lo? Sampai kucing mau lo kawinin." Ucap Eva sambil menaruh punggung tangannya didahi Tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis
Teen Fiction[FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA] "Dunia itu tempatnya meninggalkan dan ditinggalkan. Karena pada intinya semua akan pergi jika sudah waktunya." [ cerita ini murni hasil fikiran saya. maaf jika ada kesamaan alur, nama tokoh, tempat, dan lain-lain]